Rabu, 17 September 2025
Menu

Saksi Ahli Sebut Alat Bukti Penetapan Tersangka Firli Bahuri Kurang Berkualitas

Redaksi
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad usai jadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat 15/12/2023
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad usai jadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 15/12/2023 | M. Hafid/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menilai, alat bukti penetapan tersangka terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri kurang berkualitas.

Suparji merupakan salah satu saksi ahli sidang praperadilan yang diajukan Firli untuk melawan status tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang ditetapkan Polda Metro Jaya.

Seperti diketahui, dalam persidangan terungkap bahwa Termohon, dalam hal ini Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya Irjen Karyoto, menggunakan empat alat bukti dalam menetapkan tersangka Firli, yaitu saksi, surat, ahli dan petunjuk.

Menurut Suparji, alat bukti yang dimiliki pihak Polda Metro dianggap hanya memenuhi unsur kuantitatif. Harusnya, lanjut dia, alat bukti selain memenuhi unsur kuantitatif, juga harus memenuhi kualitatif.

Hal itu, lanjut Suparji, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif.

“Secara prosedural dalam menetapkan tersangka menetapkan Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), harus ada saksi dan surat yang menunjukkan dan membuktikan adanya mens rea dan actus rea pemenuhan unsur-unsur pasal tersebut,” kata Suparji di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat, 15/12/2023.

Menurut Suparji, dalam hal tindak pidana pemerasan, secara prosedural penetapan tersangka harus didukung adanya saksi dan surat yang membuktikan adanya perbuatan memaksa seseorang atau perbuatan yang sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain.

Selain itu, kata Suparji, prosedur penetapan tersangka untuk tindak pidana suap, harus ada alat bukti yang membuktikan adanya meeting of minds antara pemberi dan penerima suap untuk menerima hadiah atau janji.

Meeting of minds merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional untuk menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya,” katanya.

Begitu halnya dalam tindak pidana gratifikasi, menurut Suparji, juga memerlukan dukungan bukti yang sesuai secara prosedural. Dalam hal ini, alat bukti harus menunjukkan adanya penerimaan hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga, yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang terkait dengan jabatannya, atau menurut pandangan pemberi hadiah atau janji tersebut, seharusnya terdapat hubungan dengan jabatannya.

“Pada akhirnya, secara prosedural penetapan tersangka yang tidak memenuhi alat bukti yang berkualitas dan berkausalitas, yaitu tidak ada alat berupa saksi-saksi atau surat-surat yang menunjukkan dan membuktikan kapan, di mana, oleh siapa, kepada siapa adanya perbuatan seseorang memeras, menyuap dan menerima gratifikasi, dapat dibatalkan melalui mekanisme raperadilan,” pungkas Suparji.*

Laporan M. Hafid