Selasa, 30 Desember 2025
Menu

Bupati Aceh Tamiang Minta Kemenhut Keluarkan Regulasi soal Tumpukan Kayu Gelondongan

Redaksi
Gelondongan Kayu dari Sumbar Terdapat Label Kemenhut dan Perusahaan SVLK Indonesia. | Ist
Gelondongan Kayu dari Sumbar Terdapat Label Kemenhut dan Perusahaan SVLK Indonesia. | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Bupati Aceh Tamiang Armia Pahmi mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk segera mengeluarkan regulasi atau landasan hukum terkait penanganan tumpukan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir beberapa waktu lalu. Menurut Armia, kejelasan regulasi diperlukan agar pemanfaatan kayu tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

Armia menjelaskan, saat ini proses pengangkutan kayu gelondongan di halaman Pesantren Darul Mukhlisin telah mencapai sekitar 85 persen. Kayu-kayu berukuran besar telah dipindahkan dan ditumpuk di pinggir sungai.

“Kami nanti memohon fatwa dari Menteri Kehutanan, mau diapakan kayu ini. Apakah diserahkan kepada kami untuk dijadikan papan, balok, atau kusen. Sehingga ada fatwa yang kuat atau dasar hukum yang jelas untuk kami melakukan hal tersebut,” katanya dalam Rapat Koordinasi dengan Pimpinan DPR RI, Aceh, Selasa, 30/12/2025.

Ia menegaskan, pemerintah daerah tidak ingin langkah pemanfaatan kayu gelondongan tanpa regulasi justru berujung pada pemanggilan rakyat Aceh Tamiang oleh Aparat Penegak Hukum (APH).

“Ini perlu ada penegasan, jangan sampai kami dipanggil-panggil lagi oleh APH. Ini merupakan bentuk komitmen kami untuk membantu masyarakat Aceh Tamiang,” ujarnya.

Selain itu, Armia juga melaporkan perkembangan pemulihan pascabanjir. Ia menyebutkan aliran listrik telah kembali normal dan jaringan Telkomsel sudah berfungsi.

“Untuk listrik sudah menyala, alhamdulillah, dan juga sinyal Telkomsel,” ucapnya.

Saat ini, aktivitas ekonomi masyarakat mulai bergerak meskipun tidak terlalu signifikan. Sentra ekonomi yang sempat terdampak kini mulai pulih dengan munculnya pasar-pasar kaget yang menjual kebutuhan pokok seperti sayuran dan telur.

Armia mengatakan Pemerintah daerah juga telah membersihkan pasar tradisional agar pedagang dapat kembali berjualan tanpa mengganggu arus lalu lintas.

“Begitu sudah 100 persen bersih, para penjual ini akan dimasukkan kembali ke pasar, sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas di depannya,” jelasnya.

Ia menambahkan, arus lalu lintas dan distribusi logistik dari Medan menuju Banda Aceh dan sebaliknya berjalan lancar, meski masih terdapat beberapa titik kemacetan akibat kondisi jalan yang rusak dan berlubang. Namun, tantangan terbesar saat ini berada di wilayah pedesaan.

Setidaknya, kata Armia, dari total 216 desa di Aceh Tamiang, hampir semuanya terdampak lumpur sisa banjir. Untuk itu, pemerintah daerah membutuhkan dukungan alat berat dalam jumlah besar guna mempercepat pembersihan.

Kemudian, lebih dari 8.000 hektare lahan sawah tertimbun lumpur. Meski begitu, sebagian petani tetap nekat menanam padi di atas lahan tersebut.

“Kita lihat nanti bagaimana hasilnya. Insyaallah ini bisa kita upayakan,” ungkapnya.

Terkait infrastruktur, Armia melaporkan terdapat empat jembatan yang mengalami kerusakan paling parah, masing-masing berada di Desa Balingkarang, Pematang Durian, Lubuk Sidup, dan Desa Pangkalan.

Kondisi Sungai Tamiang yang melebar dan dangkal membuat pembangunan jembatan darurat di beberapa titik menjadi tidak memungkinkan karena dinilai rawan. Akan tetapi, masih ada satu desa yang berpotensi dibangun jembatan darurat karena menjadi urat nadi akses masyarakat menuju perkotaan.

“Kami sudah melaporkan hal ini kepada BNPB dan juga Dandim untuk segera diusulkan pemasangan jembatan tersebut,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari