Jumat, 26 Desember 2025
Menu

Tuntut Gaji Setara UMR, Para Dosen Tempuh Jalur MK

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Sejumlah dosen mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar gaji mereka setidaknya setara dengan upah minimum regional (UMR) agar seimbang dengan beban kerja yang tinggi.

Hal tersebut tertuang dalam permohonan MK Nomor 272/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Serikat Pekerja Kampus Isman Rahmani Yusron dan Riski Alita Istiqomah yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 52 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Adapun Isman merupakan dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Bandung dengan upah bersih sebesar Rp2,8 juta. Sedangkan Alita merupakan dosen tetap di Universitas Halim Sanusi Persatuan Ummat Islam Bandung dengna upah kotor kurang lebih Rp2,5 juta.

Dalam permohonannya, para Pemohon menilai bahwa pasal yang mereka uji ke Mahkamah tersebut tidak memberikan standar yang jelas untuk memastikan dosen dapat memperoleh upah minimum yang lain.

“Secara faktual pun, perlindungan tersebut tidak terwujud, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penghasilan yang diterima dosen belum memenuhi standar kelayakan,” tulis para Pemohon dikutip Jumat, 26/12/2025.

Mereka menilai, pengujian pasal tersebut diperlukan untuk menghadirkan parameter penghasilan yang jelas, proporsional, adil, serta memberikan perlindungan yang layak bagi dosen.

Para Pemohon juga berpandangan bahwa frasa ‘gaji pokok’ dalam undang-undang tersebut perlu dipertegas, setidaknya disetarakan dengan UMR.

Selain itu, para Pemohon mendorong agar berbagai insentif dan tunjangan yang melekat pada gaji, seperti tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta tambahan maslahat, ditempatkan sebagai tunjangan yang bersifat tetap dan menjadi pelengkap gaji pokok guna menjamin penghasilan dosen yang layak.

Para Pemohon memandang bahwa tidak adanya kepastian hukum terkait parameter kebutuhan hidup minimum dalam UU Guru dan Dosen sangat berdampak bagi kesejahteraan para akademisi di kampus.

“Upah atau gaji bagi seorang pendidik bukan sekadar angka-angka dalam laporan keuangan yayasan atau universitas, melainkan fondasi utama bagi kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Ketika norma undang-undang gagal menjamin kepastian pembayaran upah yang layak, maka hak konstitusional dosen untuk hidup sejahtera terancam,” katanya.

Selain itu, ketiadaan kewajiban yang secara tegas diatur dalam UU Guru dan Dosen untuk mengacu pada standar Upah Minimum Regional menyebabkan fungsi perlindungan dasar bagi dosen menjadi tidak optimal.

Perbandingan Gaji Dosen dengan UMP

Para Pemohon dalam permohonannya juga menyoroti adanya ketimpangan antara perbandingan gaji yang diterima dosen dengan upah minimum provinsi (UMP). Mereka menilai bahwa terdapat ketimpangan yang nyata antara penghasilan bersih dosen dengan standar upah minimum.

“Banyak dosen menerima gaji pokok jauh di bawah nilai minimum yang ditetapkan pemerintah daerah,” katanya.

Para Pemohon menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara gaji pokok dosen dan UMP di sejumlah daerah. Di DI Yogyakarta, misalnya, dosen dengan jabatan fungsional Asisten Ahli di STP AMPTA Yogyakarta hanya menerima gaji pokok Rp600 ribu, jauh di bawah UMP sebesar Rp2.264.080.

Kondisi serupa terjadi di DKI Jakarta, di mana dosen Lektor di Universitas Mpu Tantular memperoleh gaji pokok Rp1.332.540, sementara UMP Jakarta mencapai Rp5.396.761. Di universitas lain di Jakarta, yakni Universitas Paramadina, Dosen Asisten Ahli menerima gaji pokok Rp1,5 juta, juga masih terpaut jauh dari UMP yang sama.

Kesenjangan juga terlihat di Jawa Barat. Dosen Asisten Ahli di Universitas Halim Sanusi tercatat hanya menerima gaji pokok Rp560 ribu, padahal UMP Jawa Barat sebesar Rp2.191.232. Sementara itu, di Universitas Islam Al-Ihya Kuningan, gaji pokok dosen Asisten Ahli sebesar Rp1,5 juta, tetap berada di bawah standar UMP provinsi tersebut. Di Jawa Timur, dosen Asisten Ahli di Universitas Al-Amien Prenduan menerima gaji pokok Rp600 ribu, jauh dari UMP Jawa Timur sebesar Rp2.165.244.

Di Lampung, dosen Asisten Ahli di STKIP PGRI Bandar Lampung memperoleh gaji pokok Rp1,5 juta, sedangkan UMP Lampung tercatat sebesar Rp2.893.070.

Sedangkan untuk jabatan Asisten Ahli di Universitas Sumatera Barat hanya mendapat upah Rp1,500,000, jauh di bawah UMP Sumatera Barat sebesar Rp2,9 juta.

Sementara itu, di Sulawesi Barat, dosen Lektor di Universitas Muhammadiyah Mamuju menerima gaji pokok Rp1,85 juta, di bawah UMP Sulawesi Barat sebesar Rp3.104.430. Adapun di Sulawesi Selatan, dosen Asisten Ahli di Universitas Muslim Indonesia menerima gaji pokok Rp1.521.775, sementara UMP Sulawesi Selatan mencapai Rp3.657.527.

“Data sampel ini menunjukkan bahwa tanpa adanya standar minimal yang mengikat setara upah minimum regional, otonomi satuan pendidikan dalam menentukan gaji, khususnya di perguruan tinggi swasta, telah menciptakan eksploitasi dan ketidakadilan bagi profesi dosen di seluruh Indonesia,” katanya.

Untuk itu, para Pemohon menegaskan bahwa negara tidak boleh lepas tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan dosen. Apalagi, dengan menggunakan dalil bahwa hubungan kerja antara dosen dan penyelenggara pendidikan merupakan ranah hukum privat.

“Profesi dosen menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan bangsa melalui pendidikan, sehingga hubungan kerja ini memiliki dimensi kepentingan publik yang sangat kuat. Oleh karena itu, negara wajib hadir melalui regulasi yang adil dan tidak diskriminatif,” tegasnya.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Selain itu, mereka juga meminta agar Pasal 52 ayat 1, 2, dan 3 inkonsitusional sepanjang tidak dimaknai agar gaji para dosen ‘sekurang-kurangnya setara dengan upah minimum regional yang berlaku di satuan pendidikan tinggi berada’.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi