Kerry Klaim Riza Chalid Tak Terlibat di Proyek Sewa Terminal BBM Pertamina
FORUM KEADILAN – Pemilik PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza mengklaim bahwa ayahnya Mohammad Riza Chalid tidak terlibat dalam proyek sewa terminal bahan bakar minyak (TBBM) oleh PT Pertamina (Persero).
Hal itu ia sampaikan usai sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa, 25/11/2025.
Mulanya, ia mengatakan bahwa penyewaan TBBM tesebut merupakan hasil usahanya sendiri tanpa keterlibatan sang ayah.
“Jadi kegiatan saya ini hanya sewa-menyewa terminal BBM antara saya dengan Pertamina. Usaha ini adalah usaha saya sendiri dan tidak ada keterlibatan ayah saya,” ujarnya kepada wartawan.
Dirinya juga membantah soal tuduhan kerugian keuangan negara dari kerja sama penyewaan terminal PT Orbit Terminal Merak (OTM). Menurutnya, penyewaan tersebut justru memberikan keuntungan bagi Pertamina dan negara.
“Usaha ini memberikan manfaat yang besar pada Pertamina, sebagaimana saksi dari Pertamina di persidangan yang menyatakan bahwa dengan menggunakan terminal saya, Pertamina mendapatkan efisiensi sampai Rp145 miliar per bulan,” katanya.
Apalagi, kata dia, terminal miliknya masih dipergunakan oleh Pertamina hingga saat ini.
Sebelumnya, dalam surat dakwaan, jaksa memerinci sejumlah perbuatan yang dinilai merugikan negara, salah satunya terkait kerja sama penyewaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak antara perusahaan terafiliasi dengan Kerry, yakni PT Jenggala Maritim dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo.
Jaksa menyebut bahwa ketiga perusahan tersebut meneken kerja sama penyewaan terminal BBM Merak dengan PT Pertamina Patra Niaga. Padahal, saat itu Pertamina belum membutuhkan terminal BBM tambahan.
Jaksa mengungkap, nilai kerugian dari kerja sama penyewaan tersebut mencapai Rp2,9 triliun. Selain itu, aset terminal BBM Merak justru tercatat sebagai milik PT OTM, bukan menjadi aset Pertamina.
Tak hanya itu, jaksa juga menyoroti kerugian negara dari ekspor dan impor minyak mentah yang dilakukan dengan prosedur bermasalah. Nilai kerugian akibat ekspor minyak mentah diperkirakan mencapai US$1.819.086.068,47, sementara dari impor minyak mentah sekitar US$570.267.741,36.
Lebih lanjut, jaksa menyebut adanya kerugian perekonomian negara senilai Rp171.997.835.294.293,00 (triliun) akibat harga pengadaan BBM yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban ekonomi tambahan. Selain itu, terdapat keuntungan ilegal sebesar US$2.617.683.34 (juta) yang berasal dari selisih harga antara impor BBM melebihi kuota dan pembelian BBM dari dalam negeri.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi
