Senin, 29 Desember 2025
Menu

Amnesty: 2025 Ditutup Malapetaka Politik dan HAM, Bencana Sumatra Cermin Kegagalan Negara

Redaksi
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid di depan Gerbang DPR, Kamis, 20/3/2025 | Syahrul Baihari/Forum Keadilan
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid di depan Gerbang DPR, Kamis, 20/3/2025 | Syahrul Baihari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, tahun 2025 ditutup dengan malapetaka politik dan hak asasi manusia (HAM), menyusul buruknya penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mencerminkan kegagalan negara menjalankan fungsi konstitusionalnya.

Menurut Usman, respons pemerintah terhadap krisis ekologis dan kemanusiaan di Sumatra justru mempertontonkan ketidakmampuan, kelambanan, serta watak represif negara, termasuk penggunaan kekerasan militer di Aceh.

“Tahun ini ditutup oleh buruknya reaksi penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis kemanusiaan, bahkan mencerminkan watak represif,” kata Usman kepada Forum Keadilan, Senin, 29/12/2025.

Ia menyoroti sikap pemerintah yang dinilai mengabaikan partisipasi publik. Saat masyarakat menyampaikan protes dan aspirasi, para pejabat negara justru tetap menjalankan kebijakan tanpa koreksi, melontarkan pernyataan gegabah.

“Negara gagal menjalankan fungsi konstitusionalnya baik dalam kondisi normal maupun krisis, dan mengabaikan kewajibannya melindungi HAM,” ujar Usman.

Bencana ekologis yang terjadi, lanjut Usman, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pro-deforestasi, lambannya respons pemerintah, serta pembatasan informasi.

Padahal, sebelum banjir dan longsor melanda sejumlah wilayah di Sumatra; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan dini yang kuat, namun dinilai diabaikan.

“Kelalaian negara ini berujung pada malapetaka HAM,” kata Usman.

Ia juga mengkritik pernyataan sejumlah pejabat yang dinilai menunjukkan arogansi dan minim empati di tengah krisis. Misalnya, pernyataan Direktur Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang menyebut kayu gelondongan yang tersapu banjir sebagai ‘kayu lapuk’, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut situasi mencekam hanya terjadi di media sosial.

“Pernyataan-pernyataan tersebut memperparah situasi dan mencederai rasa keadilan masyarakat yang menjadi korban,” ujarnya.

Usman menegaskan, bencana di Sumatra memperlihatkan dampak kebijakan pembangunan yang mengabaikan lingkungan dan HAM, sehingga mengancam hak atas kehidupan, keselamatan, dan ruang hidup warga.

Ia mengingatkan, selama negara terus mengizinkan proyek bisnis berbasis deforestasi masif, potensi bencana ekologis akan terus berulang, bahkan berlanjut pada 2026.

“Hutan dan ekosistem di Sumatra, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua telah rusak. Jangan sampai hutan Indonesia yang merupakan salah satu hutan terbesar yang tersisa di dunia juga rusak akibat kebijakan ekonomi berbasis deforestasi,” kata Usman.*

Laporan oleh: Muhammad Reza