Senin, 29 Desember 2025
Menu

27 Desember 1949: Sejarah yang Terluka, Kedaulatan yang Tereduksi

Redaksi
Penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) di Amsterdam, Belanda pada 27 Desember 1949 merupakan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) | Ist
Penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) di Amsterdam, Belanda pada 27 Desember 1949 merupakan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) | Ist
Bagikan:

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra MBA

 

Pemerhati Intelijen

 

FORUM KEADILAN – Sejarah adalah identitas. Ketika sejarah disalahartikan, direduksi, atau ditulis dengan kacamata penjajah, maka yang terluka bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan martabat sebuah bangsa. Indonesia hari ini patut gelisah, sebab kita kian jauh dari keberanian untuk meluruskan sejarah kita sendiri. Salah satu contohnya adalah narasi tentang 27 Desember 1949 yang hingga kini masih diajarkan sebagai hari “pengakuan kedaulatan” Indonesia oleh Belanda.

Fakta sejarah menunjukkan, tanggal 27 Desember 1949 bukanlah pengakuan kemerdekaan Indonesia sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Peristiwa tersebut merupakan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang hanya memuat transfer of sovereignty dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), sebuah negara federal bentukan Belanda. Dalam perspektif historiografi kritis, ini bukan pengakuan kemerdekaan, melainkan manuver politik kolonial untuk mempertahankan pengaruh pasca perang.

Lebih ironis lagi, Indonesia justru dibebani utang sekitar 4,5 miliar gulden, setara lebih dari satu miliar dolar AS, yang di dalamnya termasuk biaya agresi militer Belanda. Artinya, bangsa yang dijajah dipaksa membayar ongkos perang penjajah yang menumpahkan darah rakyat Indonesia. Sebuah ironi yang sulit diterima oleh akal sehat dan rasa keadilan sejarah.

Yang sering luput dari ingatan publik, hasil KMB tersebut secara tegas telah ditolak dan dibatalkan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1956. Penolakan ini didasarkan pada kesadaran bahwa kedaulatan Indonesia bersumber dari Proklamasi 17 Agustus 1945, bukan dari perundingan politik dengan bekas penjajah. Bahkan, sejumlah perwira TNI memilih mengundurkan diri dari dinas militer sebagai bentuk sikap moral atas penolakan terhadap warisan KMB.

Namun, pertanyaan mendasarnya, mengapa hingga kini buku-buku pelajaran dan narasi resmi negara masih menempatkan 27 Desember 1949 sebagai tonggak kedaulatan? Fakta penting yang jarang disampaikan adalah Belanda tidak pernah secara tertulis mengakui kemerdekaan Indonesia per 17 Agustus 1945, baik secara de facto maupun de jure. Yang diakui Belanda hanyalah hasil KMB dan eksistensi RIS. Dalam konteks hubungan antarbangsa yang setara, ini jelas problematis dan merendahkan jati diri Indonesia sebagai bangsa merdeka.

Keanehan sejarah ini juga tercermin dalam praktik ketatanegaraan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), misalnya, melalui program sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, justru tidak mencantumkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Padahal, proklamasi adalah sumber legitimasi moral dan historis dari seluruh bangunan konstitusi negara. Menghilangkan proklamasi sama saja dengan memotong akar berdirinya republik ini.

Jika dibiarkan, kekeliruan ini berpotensi membentuk kesadaran kolektif yang keliru, terutama bagi generasi muda. Sejarah kemerdekaan Indonesia direduksi seolah-olah lahir dari “pemberian” penjajah, bukan dari perjuangan rakyat. Padahal, kemerdekaan Indonesia adalah hasil keputusan berdaulat bangsa, direbut melalui pengorbanan jiwa dan raga, bukan hasil belas kasihan kekuatan kolonial.

Meluruskan sejarah 27 Desember 1949 bukan upaya memusuhi Belanda, melainkan menegakkan kebenaran dan martabat bangsa. Negara tidak boleh takut pada fakta sejarahnya sendiri. Proklamasi 17 Agustus 1945 harus dikembalikan sebagai satu-satunya tonggak lahirnya kedaulatan Indonesia. Tanpa itu, kita hanya mewariskan sejarah yang cacat dan identitas bangsa yang rapuh.

Sejarah yang jujur adalah syarat bangsa yang berdaulat. Jika Indonesia terus membiarkan kecelakaan penulisan sejarah ini, maka yang sesungguhnya kita gadaikan bukan masa lalu, melainkan masa depan republik.