Golkar Tanggapi Kritik Rektor Paramadina soal Bahlil, Demokrasi, dan Alien
FORUM KEADILAN – Ketua Lembaga Komunikasi dan Informasi (LKI) DPP Partai Golkar Dave Laksono menanggapi pernyataan Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, yang menyoroti usulan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia terkait penerapan pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung.
Kritik tersebut juga menyinggung tercemarnya pilkada langsung oleh berbagai distorsi demokrasi, seperti penggunaan buzzer, bot, kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI), hingga intervensi teknologi yang dinilai merusak proses demokrasi.
Dave menegaskan, setiap gagasan mengenai mekanisme demokrasi harus ditempatkan dalam kerangka besar untuk memperkuat kualitas demokrasi itu sendiri. Menurutnya, usulan pilkada tidak langsung yang disampaikan Bahlil bukanlah sebuah kemunduran demokrasi, melainkan langkah korektif atas pengalaman demokrasi elektoral selama lebih dari dua dekade terakhir.
“Selama ini kita menyaksikan bagaimana praktik pemilihan langsung kerap diwarnai politik uang, penggunaan buzzer, hingga intervensi teknologi yang tidak sehat. Kondisi tersebut berpotensi merusak substansi demokrasi yang kita cita-citakan,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat, 26/12/2025.
Ia menilai, keberanian Bahlil Lahadalia mendorong gagasan tersebut berangkat dari komitmen untuk menghadirkan demokrasi yang lebih bermakna. Golkar, kata Dave, ingin memastikan kualitas kepemimpinan ditentukan oleh integritas, kapasitas, dan rekam jejak, bukan semata pencitraan atau kemampuan finansial.
“Dengan mekanisme yang lebih terukur, demokrasi tidak lagi dikendalikan oleh uang dan pencitraan semu. Sistem politik harus menjadi ruang lahirnya pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat, berorientasi pada pembangunan, dan berkomitmen pada kepentingan publik,” tegasnya.
Dave menambahkan, Golkar memandang demokrasi yang sehat bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal hasil, yakni apakah sistem pemilihan mampu menghadirkan pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat. Menurutnya, inilah esensi ikhtiar Golkar dalam memberantas praktik politik uang dan mengembalikan demokrasi pada prinsip kedaulatan rakyat yang jujur, adil, dan berkelanjutan.
Ia memastikan Fraksi Partai Golkar di DPR RI akan secara konsisten memperjuangkan usulan tersebut agar arah kebijakan yang diambil benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat Indonesia.
“Kami menghargai pandangan kritis dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi, karena demokrasi tumbuh dari dialektika. Namun perlu dipahami, Golkar tidak menutup ruang demokrasi, melainkan berupaya memperbaikinya agar lebih tahan terhadap berbagai distorsi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, menyampaikan bahwa pemilu tidak langsung seperti zaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto, akan menghilangkan hak pilih rakyat sekaligus memundurkan sistem demokrasi.
Namun, ia menegaskan, keruwetan juga datang dari sistem pemilihan langsung pada masa teknologi IT dan AI sekarang ini. Selama dua dekade terakhir ini pemilihan langsung ditandai oleh keterlibatan alien, AI, bots, buzzer dan barang asing lainnya, yang merusak sendi-sendi demokrasi.
“Karena itu, pemilihan langsung, meskipun bersifat ‘one man one vote’, terbuka menjadi alat eksploitasi dan manipulasi para elit di dalam demokrasi karena menguasai uang dan teknologi tersebut,” katanya.
Ia memandang, suara rakyat berasal dari suara hati nurani dan keinginan manusia untuk memilih pemimpinnya. Namun dengan kehadiran AI, maka dialog di dalam demokrasi disapu oleh suara mesin, provokasi buzzer, bots, AI dan mesin-mesih alien, yang masuk ke dalam sistem, menjajah dan menjarah demokrasi secara brutal.
“Hasilnya adalah pemimpin pencitraan, yang tidak menampakkan wajah aslinya, seperti terlihat pada kepemimpinan Jokowi, yang dihasilkan dalam pemilihan langsung dengan penuh keterlibatan mesin-mesin manupulatif, buzzer, bots, dan AI. Ini semua merupakan barang asing dan alien-alien baru di dalam demokrasi,” ujarnya.
Akan tetapi, jika pemilihan langsung dikurangi pada sisi pilkada, maka alien-alien dan mesin-mesin AI tersebut bisa dikurangi dalam demokrasi. Jika kembali ke dalam sistem seperti dipraktikkan oleh Suharto, maka pembajakan demokrasi oleh elite akan terjadi kembali.
Menurut Rachbini, hal ini sama dengan keluar dari mulut harimau lalu masuk ke mulut buaya, bahkan bisa lebih sadis lagi. Kebrutalan pembajakan demokrasi bisa menjadi otoriter seperti dulu. Oleh karena itu, mesin-mesin AI, buzzer dan alien-alien tersebut harus diatur oleh pemerintah.
Ia mengajukan inovasi mixed method atau campuran. Pertama, pilkada tidak dilakukan secara langsung tetapi dipilih oleh DPRD.
“Kedua, calon gubernur dan calon bupati/walikota bukan ditetapkan elite partai tetapi berasal dari unsur pilihan masyarakat, yakni tiga anggota DPRD terpilih dengan suara terbanyak dari provinsi atau kabupaten/kota tersebut,” tandasnya.*
Laporan oleh: Novia Suhari
