Rabu, 24 Desember 2025
Menu

Keterbatasan Armada, Saksi Ungkap Alasan Pertamina Pakai Kapal Milik Anak Riza Chalid

Redaksi
Sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, 23/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, 23/12/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – VP Crude and Gas Operation PT Pertamina International Shipping (PIS) periode 2021–2023 Haris Abdi Sembiring mengungkapkan alasan PT PIS menggunakan kapal PT Jenggala Maritim Nusantara (PT JMN) milik Muhammad Kerry Adrianto Riza karena kebutuhan armada domestik.

Hal itu ia ungkapkan ketika dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina.

Mulanya, jaksa menyoroti terkait proses pengadaan kapal tanker Suezmax bernama Jenggala Nassim, terutama terkait penentuan waktu kebutuhan (laycan) untuk angkutan domestik dan internasional.

“Di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Saudara Nomor 19 tanggal 29 Agustus itu ada rincian pengadaan. Sebagai acuan itu ada tipe sewa, tipe sewanya dijelaskan time charter kemudian periode sewanya main kontrak 3 tahun plus 1 (tahun) plus 1. Kemudian ada juga di lycan-nya itu Week 1 sama Week 4, ini apa dasar surat mencantumkan kebutuhan itu di bulan Oktober 2023?” tanya jaksa di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa, 23/12/2025.

Haris menjelaskan bahwa penentuan waktu di minggu pertama dan minggu keempat bulan Oktober merupakan hasil simulasi untuk kebutuhan PT PIS.

“Karena memang disebutkan untuk di Indonesia itu untuk membantu keperluan kebutuhan domestik,” jawabnya.

Jaksa kemudian menyoroti rentang waktu yang cukup panjang antara Week pertama hingga Week keempat, serta mempertanyakan apakah saat itu belum ada kepastian jadwal atau belum muncul kebutuhan domestik.

Haris menjelaskan bahwa pada saat itu PT PIS belum bisa memastikan terkait permintaan tersebut.

“Sehingga ketika sudah masuk di dalam sistem angkutan domestik kami, kami lihat di simulasi, Pak. Nah di simulasi itu baru kita peroleh tanggal fixnya untuk kebutuhan kapal ini,” katanya.

Jaksa lantas menanyakan apakah penggunaan kapal Jenggala Nassim milik Kerry merupakan kebutuhan dari Kilang Pertamina Internasional atau dari Divisi marketing PT PIS.

Haris menjelaskan bahwa permintaan tersebut diperuntukkan untuk kebutuhan domestik dan internasional.

“Ya karena untuk permintaannya ini kan memang portfolio nya untuk domestik dan internasional. Nah ketika diserahkan kepada kami untuk angkutan domestik tentunya kami akan memanfaatkan untuk kebutuhan domestik pak,” katanya.

Dirinya menambahkan bahwa tiga kapal Long Range milik Pertamina bernama Aframax yang berukuran 100 ribu barrel sedang tidak bisa beroperasi.

“Sehingga untuk kapal tipe ini bisa kami memanfaatkan untuk menambal kebutuhan Tonnage yang ada di domestik pada saat itu,” jelasnya.

Dalam surat dakwaan, jaksa merinci sejumlah perbuatan yang dinilai merugikan negara, salah satunya terkait kerja sama penyewaan terminal BBM Merak antara perusahaan terafiliasi dengan Kerry, yakni PT Jenggala Maritim dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak (OTM) Gading Ramadhan Joedo.

Jaksa menyebut bahwa ketiga perusahan tersebut meneken kerja sama penyewaan terminal BBM Merak dengan PT Pertamina Patra Niaga. Padahal, saat itu Pertamina belum membutuhkan terminal BBM tambahan.

Jaksa mengungkap, nilai kerugian dari kerja sama penyewaan tersebut mencapai Rp2,9 triliun. Selain itu, aset terminal BBM Merak justru tercatat sebagai milik PT OTM, bukan menjadi aset Pertamina.

Tak hanya itu, jaksa juga menyoroti kerugian negara dari ekspor dan impor minyak mentah yang dilakukan dengan prosedur bermasalah. Nilai kerugian akibat ekspor minyak mentah diperkirakan mencapai US$1.819.086.068,47, sementara dari impor minyak mentah sekitar US$570.267.741,36.

Lebih lanjut, jaksa menyebut adanya kerugian perekonomian negara senilai Rp171.997.835.294.293,00 akibat harga pengadaan BBM yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban ekonomi tambahan. Selain itu, terdapat keuntungan ilegal sebesar US$2.617.683,34 yang berasal dari selisih harga antara impor BBM melebihi kuota dan pembelian BBM dari dalam negeri.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi