Sebut Banyak Penyanyi Terseret Polemik Royalti, VISI: Kasus Anggun-Lyodra Bikin Heran
FORUM KEADILAN – Musisi sekaligus Ketua Umum Vibrasi Suara Indonesia (VISI) Armand Maulana menyoroti semakin rumitnya persoalan royalti lagu yang hingga kini belum memiliki kejelasan hukum yang tegas.
Ia menyebut, kekacauan dalam penentuan siapa yang wajib membayar royalti atas penggunaan lagu kerap memunculkan berbagai kasus hukum yang justru menyeret para penyanyi di Indonesia.
“Sebenarnya sudah banyak penyanyi yang terseret masalah ini. Salah satunya Anggun C Sasmi, yang ternyata juga pernah disomasi karena membawakan lagu tanpa izin dari penciptanya,” katanya saat audiensi dengan Fraksi PDI Perjuangan di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 10/11/2025.
Menurut Armand, penyanyi internasional tersebut sempat dituntut karena membawakan beberapa lagu lawas seperti Tua-Tua Keladi dan Mimpi tanpa izin dari penciptanya.
“Anggun menyanyikan lima lagu itu beberapa kali antara tahun 2020 sampai 2023, bahkan kalau tidak salah 2024, dan dituntut karena dianggap tidak izin dan tidak membayar royalti,” jelasnya.
Armand juga menyinggung contoh lain yang viral di media sosial, ketika seorang penyanyi pernikahan mencoba meminta izin secara resmi kepada pencipta lagu.
“Penyanyi itu niatnya baik, mau izin langsung ke penciptanya. Tapi malah diminta bayar Rp17 juta untuk satu kali tampil, padahal bayaran dia sendiri tidak sampai segitu,” ujarnya.
Polemik serupa juga sempat menimpa Agnez Mo, yang digugat oleh pencipta lagu karena dianggap membawakan lagu tanpa izin.
“Waktu itu Agnez digugat di pengadilan, dan awalnya dinyatakan bersalah serta diwajibkan membayar. Tapi kemudian Agnez mengajukan kasasi dan akhirnya menang,” ungkap Armand.
Kasus Agnez Mo, kata Armand, menjadi titik balik bagi pelaku industri musik karena menimbulkan perdebatan besar terkait tafsir UU Hak Cipta.
“Kami semua di industri musik jadi kaget. Karena sejak UU Hak Cipta 2014 berlaku, kami menjalankan sesuai ketentuan bahwa yang membayar royalti adalah penyelenggara, bukan penyanyi. Tapi kok tiba-tiba muncul tafsir baru seolah penyanyi harus membayar dan minta izin sendiri,” paparnya.
VISI, lanjut Armand, bahkan sempat mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap lima pasal di UU Hak Cipta yang dianggap menimbulkan ambiguitas.
“Kami mempertanyakan, apakah benar penyanyi yang harus membayar, dan apakah benar penyanyi wajib minta izin. Karena di UU jelas tertulis, yang membayar adalah penyelenggara acara,” tegasnya.
Namun, MK menolak permohonan tersebut. Meski demikian, persoalan tak berhenti di sana. Setelah Agnez Mo menang di kasasi, muncul kembali kasus baru yang menimpa Lyodra Ginting. Armand menyebut, Lyodra dituntut Rp50 juta karena membawakan lagu daerah pada tahun 2023 di acara ulang tahun Kabupaten Langkat.
“Padahal kejadian menyanyinya 2023, tapi dituntut ketika polemik ini ramai tahun 2025. Lyodra kaget dan kecewa, karena kalau tahu begini mungkin dia tak akan bawakan lagu itu,” ujarnya.
Tak hanya Lyodra, penyanyi dangdut Lesti Kejora juga ikut terseret dalam kasus serupa.
”Kalau Lesti malah lebih absurd lagi. Yang posting videonya bukan dia, tapi fans-nya. Namun tetap saja Lesti yang dituntut,” tutur Armand.
Armand menegaskan, perbedaan pandangan di antara para pencipta lagu, lembaga manajemen kolektif (LMK), dan penyanyi membuat dunia musik tanah air semakin tidak kondusif.
“Kami ingin ada kejelasan. Jangan sampai penyanyi yang hanya menjalankan profesinya justru dikriminalisasi. UU harus berpihak pada keadilan semua pihak,” tutupnya.*
Laporan oleh: Novia Suhari
