Kamis, 23 Oktober 2025
Menu

Ironi Usulan Gelar Pahlawan untuk Soeharto dan Marsinah yang Tewas di Tangan Orba

Redaksi
Presiden ke-2 RI Soeharto | Ist
Presiden ke-2 RI Soeharto | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Rencana pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto mendapat sorotan keras dari aktivis hak asasi manusia (HAM). Mereka menilai, keputusan itu sarat ironi. Sebab dalam waktu yang sama, nama buruh perempuan Marsinah yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang juga menjadi korban kekerasan rezim Orde Baru juga diusulkan menerima gelar serupa.

Wakil Ketua Bidang Eksternal KontraS Andri Yunus menegaskan bahwa pihaknya bersama Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas dan Gerakan Masyarakat Adili Soeharto sejak awal menolak pengusulan gelar tersebut. Menurutnya, Soeharto tidak memenuhi syarat moral dan hukum untuk disebut pahlawan bangsa.

“Kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan,” ujar Andri di luar Gedung MK, Kamis, 23/10/2025.

Ia menambahkan, rezim Soeharto bertanggung jawab atas sedikitnya lima hingga enam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang pemerintahannya. Selain itu, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar di era tersebut semakin menegaskan bahwa Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan.

“Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arief Maulana menilai, usulan gelar pahlawan seharusnya berlandaskan pada penilaian objektif dan transparan sesuai mekanisme yang berlaku.

Menurutnya, alih-alih memberi gelar pahlawan kepada Marsinah, pemerintah seharusnya fokus mengusut tuntas dan menegakkan hukum atas kasus kematiannya. Ia menegaskan, yang lebih penting bagi negara adalah mengungkap kebenaran kasus Marsinah secara menyeluruh, bukan sekadar memberi penghormatan simbolik melalui gelar kehormatan.

Adapum Marsinah merupakan seorang buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik pembuat jam di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semasa hidupnya, ia dikenal lantang memperjuangkan hak-hak pekerja. Namun perjuangannya berakhir tragis setelah ia diculik, disiksa, diperkosa, dan dibunuh pada 8 Mei 1993.

“Bicara terkait Marsinah, saya pikir lebih penting untuk kemudian berbicara bagaimana penegakan hukum, investigasi pengungkapan kasus Marsinah secara terang benderang, karena sampai hari ini kita tahu bahwa belum ada pengungkapan yang utuh yang kemudian mengungkap seluruh pelakunya,” ujarnya.

Arief juga menyinggung bahwa pola impunitas terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia terus berulang, bahkan menimpa aktivis yang memperjuangkan kasus Marsinah, seperti Munir Said Thalib.

“(Kasus Marsinah) justru penting untuk kemudian mengingatkan negara untuk melihat persoalan mendasar dari kasus ini bagaimana pelindungan hak-hak terhadap para pekerja, para buruh baik itu hak normatifnya selama bekerja termasuk hak mereka untuk berpendapat dan berekspresi sebagai warga negara,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkapkan 40 usulan penerima Gelar Pahlawan Nasional dari Kementerian Sosial (Kemensos) akan diputuskan sebelum sebelum 10 November 2025. Dari 40 nama tersebut, beberapa nama yang diusulkan adalah Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga Marsinah, tokoh buruh dan aktivis perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi