Minggu, 19 Oktober 2025
Menu

Fenomena Purbaya: Kejujuran di Tengah Negara yang Tersesat Arah

Redaksi
Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 15/9/2025. | YouTube Sekretariat Presiden
Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 15/9/2025. | YouTube Sekretariat Presiden
Bagikan:

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra

 

Pemerhati Intelijen

 

FORUM KEADILANIndonesia tampak semakin kehilangan arah dalam mengelola rumah besarnya sendiri. Di tengah gegap gempita pembangunan dan jargon pertumbuhan ekonomi, kita justru menyaksikan negara yang seolah “salah urus”.

Benang kusut kebijakan publik yang tidak sinkron, tumpang tindih regulasi, dan tata kelola keuangan negara yang amburadul, mencerminkan betapa lemahnya arah kepemimpinan yang berlandaskan akuntabilitas dan moral publik.

Dari sektor hukum hingga birokrasi fiskal, gejalanya seragam yakni negara tampak dikuasai oleh kartel kepentingan, bukan lagi oleh nurani kebangsaan.

Keadilan menjadi barang mewah, hanya dapat diakses oleh mereka yang punya koneksi dan kapital. Lembaga-lembaga penegak hukum kerap beroperasi layaknya pedagang jasa hukum, bukan pengawal keadilan.

Sementara rakyat, yang setia membayar pajak dan menanggung beban hidup yang terus naik, hanya menjadi penonton dalam drama kemerosotan moral institusi negara.

Dalam situasi itulah muncul sosok Purbaya, Menteri Keuangan yang dikenal ceplas-ceplos, lugas, dan berani menyentuh akar persoalan keuangan negara.

Gaya bicaranya yang terbuka, kadang dianggap tidak diplomatis, tapi sesungguhnya adalah cermin kegelisahan publik yang lama terpendam.

Ia bukan sekadar bicara soal angka dan defisit, melainkan tentang integritas dan pengelolaan uang rakyat yang kian jauh dari asas transparansi.

Berbicara Apa Adanya di Tengah Budaya Pura-Pura

Sosiolog Robert Bellah dalam Habits of the Heart menulis bahwa masyarakat yang kehilangan orientasi moral publik cenderung memusuhi kejujuran yang mengganggu kenyamanan status quo.

Fenomena itulah yang kini dialami Indonesia. Ketika Purbaya membuka tabir bobroknya pengelolaan keuangan negara, sebagian elite justru menudingnya “tidak etis”, “pencitraan”, atau “terlalu ikut campur”.

Padahal, dalam sistem yang sehat, kritik internal pejabat publik seharusnya menjadi mekanisme self-correction negara. Namun di Indonesia, kejujuran pejabat sering dianggap pengkhianatan terhadap koleganya sendiri.

Data dari Transparency International (2024) menunjukkan indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan di angka 34, tidak bergerak signifikan dalam lima tahun terakhir.

Sementara laporan BPK semester I tahun 2025 mencatat potensi kerugian negara mencapai Rp72 triliun akibat penyimpangan pengelolaan keuangan di berbagai instansi pusat dan daerah.

Angka-angka itu bukan sekadar statistik, ia menggambarkan betapa parahnya penyakit struktural yang coba dibedah Purbaya.

Fenomena Purbaya sesungguhnya memperlihatkan betapa bangsa ini sedang terjangkit rabun kebenaran, tidak mampu lagi membedakan mana yang tulus, mana yang pura-pura.

Setiap narasi kejujuran dianggap “tidak santun”, setiap upaya reformasi dianggap “mengganggu harmoni”, dan setiap pejabat yang berani bicara benar diposisikan sebagai “musuh bersama”.

Dalam konteks sosiologi politik, fenomena ini serupa dengan yang disebut Hannah Arendt sebagai “banality of evil”, situasi ketika kejahatan menjadi biasa karena dilakukan secara sistematis oleh birokrasi yang kehilangan nurani.

Masyarakat pun akhirnya terbiasa hidup dalam paradoks: menyalahkan sistem, tetapi takut pada perubahan. Kita mengeluh soal korupsi, tapi memusuhi pejabat yang berani melawannya. Kita menuntut transparansi, tapi mencemooh keberanian yang menyingkap tabir busuk di baliknya.

Purbaya mungkin bukan sosok sempurna. Ia bisa salah dalam diksi, bisa keliru dalam retorika. Tapi keberaniannya berbicara jujur di tengah budaya kepura-puraan birokrasi adalah oase langka.

Ia mengingatkan kita pada pesan klasik Albert Camus bahwa “Kebebasan sejati adalah berbicara kebenaran, meski dunia membencimu karenanya.”

Pertanyaannya kini, apakah bangsa ini masih memiliki ruang bagi kejujuran seperti itu? Atau kita telah terlalu nyaman hidup dalam ilusi, hingga lupa menjadi manusia yang menolak tunduk pada kebusukan sistem?

Mungkin benar adagium yang dikutip penulis anonim di media sosial beberapa waktu lalu “Kalau semua orang sudah jadi anjing, apakah kita masih berani tetap menjadi manusia?”.*