Proyek PLTU Kalbar Mangkrak 10 Tahun, Polri Ungkap Dugaan Korupsi Ratusan Miliar

FORUM KEADILAN – Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Bareskrim Polri menetapkan empat orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) yang berlokasi di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah. Proyek yang digarap sejak 2008 hingga 2018 itu merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Kepala Kortas Tipidkor Irjen Pol Cahyono Wibowo mengatakan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik memperoleh dua alat bukti yang sah dan hasil audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
“Penyidik telah menetapkan empat tersangka dengan inisial FM, HK, RR, dan HYL. Keputusan ini diambil setelah dilakukan gelar perkara dan ditemukan kecukupan bukti yang dikuatkan pendapat ahli serta hasil pemeriksaan BPK,” kata Cahyono, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin, 6/10/2025,
Cahyono menuturkan, kasus ini bermula dari proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2×50 MW yang dilelang ulang oleh PT PLN (Persero) pada 2008. Sebelum proses lelang berlangsung, pihak PLN diduga telah melakukan permufakatan dengan calon penyedia dari PT BRN untuk memenangkan perusahaan tersebut.
Dalam pelaksanaannya, panitia pengadaan PLN meloloskan konsorsium KSO BRN–Alton–OJSC, meski tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis. Bahkan, dua perusahaan yang disebut tergabung dalam konsorsium itu diduga tidak pernah benar-benar terlibat dalam KSO yang dipimpin PT BRN.
“Pada 2009, sebelum kontrak ditandatangani, PT BRN mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan rekening proyek, dengan kesepakatan pemberian fee kepada pihak BRN,” ujarnya.
Kontrak kerja diteken pada 11 Juni 2009, padahal saat itu PLN belum memiliki kepastian pendanaan. Namun, kata Cahyono, hingga batas akhir kontrak pada 28 Februari 2012, pekerjaan baru mencapai 57 persen. Setelah dilakukan sepuluh kali perpanjangan (amandemen) hingga 31 Desember 2018, proyek hanya mampu diselesaikan sekitar 85,56 persen.
Akibatnya, sebagian besar bangunan dan peralatan PLTU kini terbengkalai, rusak, dan berkarat. Proyek tak dapat dimanfaatkan PLN, sementara dana besar telah dicairkan.
“Menurut penyidik, KSO BRN telah menerima pembayaran sebesar Rp323,19 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil, dan US$62,41 juta untuk pekerjaan mekanikal-elektrikal. Diduga, sebagian dana tersebut mengalir ke sejumlah pihak secara tidak sah,” tuturnya.
Berdasarkan hasil audit investigatif BPK RI tertanggal 22 Juli 2025, ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek yang berindikasi tindak pidana korupsi. Total kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp323.199.898.518 dan US$62.410.523,20.
“Dana tersebut merupakan pengeluaran PLN yang tidak sesuai ketentuan dan tidak memberikan manfaat karena proyek tidak diselesaikan,” ujarnya.
Sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan pada November 2024, penyidik telah memeriksa 65 saksi, termasuk dari internal PLN dan perusahaan pelaksana proyek. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan terhadap ahli LKPP, ahli EPCC, ahli keuangan negara, BPK, serta ahli ketenagakerjaan.
Adapun keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Penyidik akan melengkapi alat bukti, menyusun berkas perkara, menelusuri serta mengembalikan aset hasil korupsi, dan berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Agung,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah