Sangat Mendesak, Evaluasi Total Program Makan Bergizi Gratis

FORUM KEADILAN – Serangkaian kasus keracunan yang menimpa lebih dari 5.000 siswa hingga September 2025 akibat mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap program ini. Skala yang terjadi mengisyaratkan adanya cacat perencanaan yang mendasar, membuat program yang awalnya diniatkan untuk kebaikan kini menuai keprihatinan mendalam.
Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild), Makmur Sianipar, menilai bahwa tingginya angka korban keracunan menunjukkan program ini lahir dari perencanaan yang tidak matang. Ia mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi total dan segera menerapkan moratorium program MBG.
“Banyaknya korban keracunan akibat mengonsumsi MBG semakin menegaskan bahwa program ini lahir dari perencanaan yang tidak matang. Sangat mendesak untuk melakukan evaluasi total. Moratorium perlu dilakukan untuk kemudian duduk bersama seluruh pemangku kepentingan melakukan evaluasi,” ujar Makmur Sianipar dalam keterangannya.
Menurut Makmur, pemerintah dan Badan Gizi Nasional (BGN) tidak dapat berlindung di balik angka statistik yang menganggap kasus ini hanya nol koma sekian persen dari total penerima manfaat.
“Bagi BGN, mungkin angka itu hanya statistik belaka. Tapi, bagi keluarga korban, kasus itu menjadi 100 persen jika dia hanya punya satu orang anak, atau 50 persen jika punya dua orang anak. Ini menyangkut nyawa manusia, jangan berlindung di balik angka statistik,” tegasnya.
Makmur juga mengingatkan agar niat baik Presiden Prabowo Subianto untuk menjamin tumbuh kembang anak Indonesia menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan tangguh, tidak berbalik menjadi tragedi. Ia menyarankan pemerintah mencari alternatif yang lebih praktis, murah, dan aman.
Minim Pengalaman, Risiko Tinggi
Salah satu persoalan krusial yang disoroti Makmur adalah penunjukan vendor penyedia makanan yang dinilainya tidak didasarkan pada pengalaman dan rekam jejak yang memadai. Menurutnya, menjadi penyedia makanan siap santap bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dikerjakan oleh sembarang orang. Diperlukan pengetahuan mendalam tentang perilaku bahan baku, mulai dari bahan mentah hingga setelah dimasak, agar tidak cepat basi.
“Perusahaan katering yang saat ini telah besar tidak ujug-ujug menjadi besar. Mereka ditempa pengalaman, learning by doing dari melayani acara-acara kecil sampai kemudian berkembang. Ada proses pembelajaran mengapa satu menu cepat basi, yang lain bisa agak tahan, bagaimana komposisi dan perlakuan yang tepat. Semua itu melalui proses pengalaman,” urai Makmur.
Ia menilai sistem penunjukan vendor MBG saat ini sangat tidak masuk akal, di mana seseorang yang tidak memiliki pengalaman di bidang ini bisa tiba-tiba melayani 3.000 paket per hari. Ketiadaan pengalaman ini menjadi salah satu faktor risiko tinggi terjadinya kasus keracunan.
Berpotensi Memperdalam Kesenjangan
Lebih lanjut, Makmur Sianipar melihat bahwa alih-alih memberikan efek ganda (multiplier effect) yang positif, pola pengelolaan program MBG saat ini justru berpotensi menciptakan kesenjangan ekonomi. Dengan sistem sentralisasi dapur, pertumbuhan ekonomi hanya terkonsentrasi di sekitar area dapur produksi.
“Dapur yang dibangun dimiliki orang yang sudah kaya. Efek pertumbuhan ekonomi pun berpindah ke sekitar dapur saja, sementara di tempat lain akan mengalami penurunan. Misalnya bahan baku makanan, maka pasar dekat dapur yang melayani beberapa kecamatan akan mengalami kenaikan omset, tetapi pasar di kecamatan lain yang tidak ada dapur MBG akan berkurang omsetnya,” paparnya.
Makmur menyarankan, jika salah satu tujuan MBG adalah memberikan efek ganda terhadap pertumbuhan ekonomi domestik, sistem sentralisasi dapur jauh lebih baik diubah dengan memberikan program ini kepada kantin-kantin sekolah. Dengan begitu, pergerakan ekonomi akan menyebar ke semua tempat, dari pasar induk hingga warung-warung sayur di sekitar sekolah.
Ia menyebut, saat ini beberapa kantin di sekolah sudah merasakan penurunan omset, bahkan sebagian harus mengganti jenis jualannya.
“Jadi program ini menciptakan lapangan kerja pada dapur MBG, tapi di tempat lain ada yang kehilangan pekerjaan. Uang pun mengalir berpindah dari pedagang-pedagang kecil ke kantong orang-orang kaya,” tegasnya.
Perlu Perubahan Paradigma dan Pendekatan
Makmur Sianipar juga menekankan bahwa kebijakan pemerintah harus direncanakan berbasis data dan bukti riil di lapangan (evidence-based policy), bukan pukul rata. Menurutnya, tidak semua siswa memerlukan MBG. Ada siswa dari keluarga mampu yang bahkan sudah pilih-pilih makanan, sehingga pemberian makanan gratis justru menjadi tidak tepat sasaran.
“Perlu dirumuskan bahwa yang mendapatkan MBG hanya kelompok ekonomi tertentu saja, yaitu kelompok yang benar-benar rentan, seperti kelompok masyarakat di persil satu sampai persil tiga,” sarannya.
Selain itu, ia mengusulkan agar pendekatan program diubah dengan memberikan bantuan langsung dalam bentuk uang kepada keluarga. Dengan demikian, orang tua dapat mengolah makanan sendiri sesuai selera anak, yang tentu lebih tepat sasaran dan aman dibandingkan pendekatan terpusat (top-down) dari dapur MBG.
“Dengan demikian, program ini benar-benar tepat sasaran dan bermanfaat untuk mempersiapkan generasi emas,” pungkas Makmur Sianipar.
Ia berharap, kasus keracunan ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi total program MBG agar tujuan mulia di baliknya dapat tercapai tanpa harus mengorbankan keselamatan dan kesehatan anak-anak.*