Sabtu, 16 Agustus 2025
Menu

Gugat Pasal Perintangan Penyidikan ke MK, Hasto Kristiyanto Nilai Hukuman Tak Proporsional

Redaksi
Sidang pendahuluan Perkara Hasto Kristiyanto di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, 13/8/2025. | Syahrul Baihaqi/ Forum Keadilan
Sidang pendahuluan Perkara Hasto Kristiyanto di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, 13/8/2025. | Syahrul Baihaqi/ Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan terhadap perkara yang diajukan oleh Eks Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto terhadap Pasal perintangan penyidikan dalam Undang-Undang Tipikor. Dalam permohonannya, ia menganggap bahwa Pasal tersebut sangat karet dan dapat disalah artikan oleh aparat penegak hukum.

Adapun dirinya sempat terjerat dalam kasus suap dan perintangan penyidikan pada kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku. Saat itu Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto bersalah karena melakukan suap, namun dakwaan perintangan penyidikan tidak terbukti. Dirinya sempat dihukum selama 3,5 Tahun penjara sebelum mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

Hal itu Maqdir sampaikan sebelum sidang pendahuluan Perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 21 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar suapaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” katanya kepada wartawan di Gedung MK, Rabu, 13/8/2025

Adapun Pasal 21 tersebut berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Ia membandingkan dengan perkara suap, di mana pemberi suap hanya berpotensi mendapat hukuman pidana maksimal sebanyak 5 tahun.

Sedangkan dalam Pasal obstruction of justice ancaman pidana maksimal hingga 12 tahun.

“Sementara kalau ada orang yg misalnya membuang semacam bukti tentang suap menyuap maka orang ini akan diancam dengan hukuman minimal 3 sampai 12 tahun,” katanya.

Oleh karena itu, Maqdir menilai bahwa perbedaan hukuman tersebut dianggap tidak proporsional.

Maqdir juga menyampaikan alasan kenapa Hasto Kristiyanto sebagai Pemohon tidak hadir dalam sidang pendahuluan. Padahal, dirinya sempat diberitahukan bahwa Hasto akan hadir.

“Tadi malam sih (Hasto) bilang mau hadir katanya, tapi saya enggak tau ini ada apa saya belum sempat komunikasi,” katanya.

Pantauan Forum Keadilan di lapangan, hanya sejumlah kuasa hukum Hasto Kristiyanto nampak hadir ke Gedung MK, di antaranya ialah Maqdir Ismail, Febri Diansyah dan Johannes Tobing.

Dalam perkara ini, Hasto menilai bahwa ketentuan Pasal 21 UU Tipikor tidak mempunyai batasan, ukuran atau aturan main yang jelas dan tegas. Ia lantas mempertanyakan apa yang dimaksud dari frasa cmencegah, merintangi atau menggagalkan” suatu penyidikan.

“Merujuk “karet’-nya bunyi Pasal 21 UU Tipikor, maka tindakan yang sah secara hukum pun tidak akan luput dari jeratannya sebab pasal tersebut tidak mensyaratkan adanya unsur “melawan hukum” atau memberikan “batasan yang jelas maupun tegas” dalam suatu perbuatan yang dikatakan sebagai “mencegah, merintangi. atau menggagalkan,” kata Hasto dalam permohonan.

Ia menyebut bahwa saat perumusan norma di DPR telah terjadi perdebatan panjang atas Pasal tersebut. Namun sayangnya kekhawatiran tersebut tidak terjawab, sehingga bunyi akhir dari delik tindak pidana tersebut tidak berubah.

“Dengan menggunakan cara pengujian secara proporsional terhadap Pasal 21 UU Tipikor, maka menjadi nyata dan terang benderang bahwa bahwa Pasal ini dalam praktiknya telah ditafsirkan secara tidak proporsional. bahkan menimbulkan ketidak pastian hukum. Sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil,” katanya.

Dalam petitumnya, ia meminta agar Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 21 inkonstitusional dengan diberikan pemaknaan baru berupa “secara melawan hukum” dan “melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas”. Sehingga, sehingga hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum atau tindakan-tindakan tertentu saja yang dapat dikualifisir sebagai delik “obstruction of justice“.

Selain itu, menghapus ketentuan pidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun menjadi paling lama 3 tahun.

Hasto juga meminta agar frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dinyatakan bertentangan dengan UUD. Hasti meminta agar frasa tersebut diartikan secara kumulatif, yakni harus dilakukan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi