Pengamat Soroti Konflik FPI dan PWI-LS: Cermin Polarisasi dan Kepentingan Lebih Dalam

FORUM KEADILAN – Pengamat sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Bakhrul Khair Amal menilai, kerusuhan yang terjadi antara dua organisasi masyarakat Islam, Front Persaudaraan Islam (FPI) dan Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS), dinilai bukan semata-mata persoalan benturan antar kelompok.
Diketahui, bentrokan kedua ormas islam ini setelah Habib Rizieq Shihab diundang mengisi pengajian di Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Rabu, 23/7/2025 malam. Menurut Bakhrul konflik tersebut mencerminkan polarisasi yang lebih dalam di masyarakat, yang berakar pada ketegangan sosial, identitas, dan kegagalan dialog antar kelompok.
“Kerusuhan antara PWI LS (Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah) dan FPI (Front Pembela Islam) dapat dilihat sebagai cerminan dari polarisasi yang lebih dalam di masyarakat,” kata Bakhrul kepada Forum Keadilan Kami, 31/7.
Bakhrul menjelaskan, polarisasi ini muncul ketika kelompok-kelompok dalam masyarakat terpecah secara tajam berdasarkan identitas, ideologi, atau kepentingan tertentu. Dalam konteks konflik FPI dan PWI-LS, perbedaan pandangan mengenai cara memperjuangkan nilai-nilai keagamaan, nasionalisme, serta pendekatan terhadap isu-isu sosial menjadi sumber ketegangan yang tak bisa diabaikan.
“Ketika dua kelompok yang sama-sama mengklaim membela umat dan moralitas berbenturan, hal itu menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dalam memahami peran agama, kekuasaan sosial, dan cara bernegara di masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, Bakhrul juga menyoroti bahwa kerusuhan tersebut mencerminkan kegagalan ruang dialog dan toleransi antar kelompok sosial. Polarisasi, menurutnya, tidak hanya terjadi di tingkat elite atau organisasi, tetapi juga menyusup ke akar rumput, menciptakan suasana saling curiga dan permusuhan.
“Konflik tidak hanya terjadi karena perbedaan pendapat, tetapi karena ketidakmampuan untuk hidup berdampingan dengan perbedaan itu. Ketika kelompok-kelompok seperti PWI LS dan FPI memilih konfrontasi dibanding komunikasi, itu menandakan bahwa masyarakat sedang mengalami krisis kohesi sosial yang serius,” tuturnya.
Bakhrul memandang, konflik ini bisa menjadi indikator bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mampu membangun budaya politik dan keagamaan yang inklusif. Polarisasi yang berkembang tidak hanya melemahkan solidaritas sosial, tetapi juga membuka ruang bagi kekerasan dan manipulasi politik.
“Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang adil, transparan, dan berbasis dialog, polarisasi semacam ini bisa merusak tatanan demokrasi serta memperkuat sentimen sektarian. Maka, penting bagi negara, tokoh masyarakat, dan lembaga keagamaan untuk mendorong rekonsiliasi dan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan di atas kepentingan kelompok,” katanya lagi.
Lebih lanjut, Bakhrul juga menyoroti adanya kepentingan lain yang lebih dominan dalam konflik ini. Dari sudut pandang akademis, konflik tersebut tidak semata-mata terjadi karena perseteruan antar ormas, tetapi mencerminkan perebutan pengaruh, identitas, dan akses terhadap sumber daya sosial-politik.
“Pandangan akademisi terhadap konflik antara PWI LS dan FPI umumnya menyoroti bahwa di balik bentrokan fisik atau simbolik yang terjadi, sering kali terdapat kepentingan lain yang lebih dominan dan kompleks,” jelasnya.
Akademisi dari bidang sosiologi, politik, maupun antropologi, menurut Bakhrul, cenderung memandang konflik seperti ini sebagai manifestasi dari dinamika kekuasaan yang lebih dalam. Kekerasan yang tampak di permukaan, sering kali hanyalah ekspresi dari pertarungan eksistensi dan legitimasi simbolik.
“Beberapa akademisi berpendapat bahwa kepentingan dominan dalam konflik ini bisa berupa legitimasi politik atau simbolik di hadapan masyarakat. Baik PWI LS maupun FPI sama-sama membawa narasi perjuangan atas nama moral, agama, atau nasionalisme,” ujarnya.
“Namun, narasi tersebut sering digunakan untuk menguatkan posisi tawar kelompok masing-masing di mata publik, terutama menjelang momentum politik atau ketika terjadi kekosongan kepemimpinan moral di tingkat lokal maupun nasional,” sambungnya.
Menurut Bakhrul, aksi massa atau konflik terbuka kerap dijadikan sarana untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan kelompok. Selain itu, ia menegaskan bahwa kepentingan ekonomi dan pengaruh lokal juga tidak bisa dikesampingkan.
“Akademisi yang meneliti dinamika sosial akar rumput sering menemukan bahwa ormas-ormas memiliki keterkaitan dengan penguasaan wilayah, distribusi bantuan sosial, bahkan pengaruh terhadap pelaku usaha lokal. Ketika satu kelompok merasa wilayah atau pengaruh sosialnya terancam oleh kelompok lain, maka konflik menjadi instrumen pertahanan terhadap kepentingan tersebut,” imbuhnya.
Hal ini, lanjutnya, menjelaskan mengapa konflik tidak selalu berakar dari ideologi, tetapi dari hal-hal pragmatis yang lebih tersembunyi.
“Akademisi juga menyoroti kemungkinan adanya aktor eksternal, baik dari dunia politik, aparat, atau elite tertentu yang mungkin memanfaatkan atau bahkan memicu konflik untuk kepentingan sendiri,” ucapnya.
Bakhrul mengingatkan bahwa dalam sejarah konflik horizontal di Indonesia, sering kali terdapat aktor-aktor yang sengaja membenturkan dua kelompok masyarakat untuk tujuan tertentu.
“Misalnya, membenturkan dua kelompok masyarakat untuk mengalihkan isu, memperlemah kekuatan sipil, atau menciptakan polarisasi demi keuntungan politik elektoral. Sejarah konflik horizontal di Indonesia kerap menunjukkan adanya ‘tangan-tangan tak terlihat’ yang bermain di balik layar konflik antar kelompok sipil,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut dia, konflik antara FPI dan PWI LS harus dibaca secara holistik.
“Para akademisi menekankan pentingnya membaca konflik PWI LS dan FPI secara holistik, tidak hanya sebagai konflik sektarian atau antar ideologi, tetapi sebagai bagian dari peta sosial-politik yang lebih luas,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa penanganan konflik yang hanya fokus pada aspek hukum atau ketertiban tanpa menyentuh akar struktural dan kepentingan dominan yang tersembunyi justru akan membuat konflik serupa terus berulang.
“Pendekatan ilmiah dan interdisipliner dibutuhkan untuk membongkar kepentingan-kepentingan tersebut, serta merumuskan solusi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan,” tandasnya.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah