Minggu, 03 Agustus 2025
Menu

MK Nyatakan Peran Kemenkum dalam Ekstradisi-MLA Tak Langgar Konstitusi

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa peran Kementerian Hukum (Kemenkum) sebagai pemegang otoritas (central authority) dalam proses ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik bukan pelanggaran konstitusi.

Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 180/PUU-XXII/2024 yang menguji konstitusionalitas norma beberapa pasal dalam dua undang-undang yakni, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.

Adapun permohonan ini diajukan oleh lima orang jaksa, yakni Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudirdja, Muh. Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswari, serta seorang WNI Donalia Faimau yang mengklaim pernah diminta menjadi saksi tindak pidana perdagangan orang/perbudakan.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di ruang sidang, Rabu, 30/7/2025.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyebut bahwa persoalan central authority yang dimiliki Kemenkum dalam menangani ekstradisi dan MLA bukan persoalan konstitusionalitas, melainkan terkait kebijakan hukum.

“Dalil para pemohon yang mempersoalkan central authority yang dimiliki oleh Menteri Hukum dalam menangani ekstradisi dan MLA, menurut Mahkamah, bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan terkait dengan kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” kata Arsul.

Mahkamah menyebut bahwa dua UU tersebut telah menegaskan prosedur hukum yang mencakup keterlibatan proses yudisial melalui putusan pengadilan dalam perkara ekstradisi yang diajukan oleh Menteri Hukum.

Apalagi, kata Arsul, pengajuan tersebut didasari pada pertimbangan dari Menteri Hukum, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kapolri sebelum presiden nantinya mengambil keputusan untuk melakukan ekstradisi dan mutual legal assistance.

Selain itu, permohonan ekstradisi dan MLA juga harus berdasarkan pada hasil putusan pengadilan, sehingga tidak ada tindakan sepihak bagi Menkum untuk melakukan ekstradisi.

“Sehingga tidak terdapat tindakan sepihak atau kekuasaan mutlak dari Menteri Hukum dalam melakukan ekstradisi dan MLA,” katanya.

Atas dasar tersebut, Mahkamah menilai bahwa Menkum tidak memiliki kekuatan sentral dalam melakukan ekstradisi. Hal tersebut juga tidak mengganggu independensi lembaga penegak hukum.

“Artinya, kedudukan Menteri Hukum sebagai pemegang central authority bukan merupakan bentuk campur tangan terhadap penegakan hukum, melainkan sebagai pelaksanaan fungsi administratif di bawah domain eksekutif,” katanya.

Mahkamah menilai bahwa Menkum hanya berperan dalam mengoordinasikan, menerima dan menyampaikan permintaan MLA sebelum presiden mengambil keputusan.

Apalagi dalam hal ini, Menkum juga tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan kesalahan seseorang, menyita aset, atau memutuskan ganti rugi kepada korban.

“Fungsi Menteri Hukum sebagai jembatan administratif antara Indonesia dan negara mitra dalam rangka kerja sama internasional. Dalam kaitan ini, fungsi penegakan hukum tetap dijalankan oleh lembaga penegak hukum sesuai dengan mekanisme hukum acara yang berlaku,” katanya.

Soal perubahan nomenklatur dari Kementerian Hukum dan HAM menjadi Kemenkum, MK menyebut bahwa hal tersebut tidak langsung menghapus kewenangan yang telah tercantum dalam UU.

Sementara soal dalil adanya tumpang tindih kewenangan antara Jaksa Agung dan Menkum, Mahkamah menyebut bahwa hal tersebut bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan soal implementasi antar instansi.

Jika terdapat kendala administrasi dalam tata cara pelaksanaan ekstradisi dan MLA, MK menyatakan bahwa dibutuhkan penguatan kapasitas kelembagaan, perbaikan sistem teknologi informasi, serta penyusunan regulasi pelaksana untuk penguatan kesepahaman antar instansi.

“Menteri Hukum sebagai central authority berkewajiban untuk mempercepat proses administrasi penanganan ekstradisi dan MLA sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,” ucapnya.

Sementara itu, MK juga menyoroti soal pentingnya percepatan proses administratif dalam menangani hal ekstradisi dan mutual legal assistance karena berkaitan erat dengan penanganan tindak pidana yang dibatasi dengan waktu penahanan.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi