Rabu, 23 Juli 2025
Menu

Ahli Soroti Pasal-Pasal Multitafsir dalam UU Hak Cipta, Termasuk Soal Ketidakjelasan Pembayaran Royalti

Redaksi
Ahli Hak Cipta dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Laurensia Andrini di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, 22/7/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi
Ahli Hak Cipta dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Laurensia Andrini di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, 22/7/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ahli Hak Cipta dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Laurensia Andrini menyebut bahwa aturan pembayaran royalti tidak diatur secara jelas di Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ia menyebut bahwa UU tersebut tidak secara tegas menyebutkan kapan dan oleh siapa royalti harus dibayarkan, namun aturan itu justru hanya diatur di tingkat Peraturan Pemerintah.

Hal itu disampaikan oleh Laurensia saat dirinya dihadirkan sebagai ahli dalam sidang uji materiil Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Armand Maulana, Ariel NOAH dan sejumlah musisi tanah air ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mulanya, ia menyoroti aturan pada Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta yang mengatur ketentuan soal larangan untuk setiap orang dalam menggandakan dan menggunakan secara komersil karya tanpa izin pencipta. Menurutnya, aturan ini kerap disalah artikan oleh pencipta karya.

“Catatan yang pertama adalah terkait dengan frasa ‘dilarang’. Dalam pasal ini sering dimaknai bahwa ‘dilarang’ memberikan hak bagi pencipta untuk melarang orang lain,” katanya dalam ruang sidang MK, Selasa, 22/7/2025.

Padahal, kata dia, frasa tersebut merupakan bentuk larangan hukum dari negara terhadap penggunaan ciptaan suatu karya tanpa izin.

“Sehingga maksudnya dilarang adalah dilarang oleh negara, bukan memberikan hak kepada pencipta untuk melarang orang lain,” katanya.

Adapun dalam sidang kali ini, Sammy Simorangkir yang dijadikan sebagai saksi menceritakan awal karir soloisnya setelah dikeluarkan dari Band Kerispatih. Di mana saat itu, ia mengaku dilarang secara lisan oleh pihak band untuk menyanyikan lagu-lagu Kerispatih, kecuali membayar Rp5 juta per lagu.

Permasalahan kembali muncul ketika eks Keyboardis Kerispatih Doadibadai ‘Badai’ Hollo keluar dari band tersebut. Badai lantas melayangkan somasi ke Kerispatih dan dirinya agar tidak menyanyikan lagu-lagu yang pernah ditulis selama di band tersebut.

“Inti dari perjanjian tersebut adalah bahwa apabila saya atau Kerispatih ingin menyanyikan lagu-lagu tersebut, maka masing-masing diwajibkan untuk membayar kontribusi sebesar 10 persen dari honorarium atau pendapatan off air yang diperoleh dari pertunjukan yang membawakan lagu-lagu tersebut,” katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Pasal 9 ayat 2 tersebut beririsan dengan Pasal 23 ayat 5 yang mengatur ketentuan soal penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.

Adapun poin ini merupakan inti dari gugatan para musisi tersebut, di mana mereka mempersoalkan pemberian izin untuk pertunjukan, siapa yang membayar royalti hak cipta hingga kapan royalti tersebut dibayarkan.

“Ketentuan pada Pasal 23 ayat 5 ini juga multitafsir, Yang Mulia. Pertama, frasa ‘setiap orang’ menimbulkan pertanyaan terkait pihak mana saja dalam pertunjukan itu yang tidak perlu meminta izin. Serta siapa yang kemudian perlu membayarkan royalti melalui LMK?” kata Laurensia.

Ia menjelaskan bahwa pasal tersebut tidak menentukan kapan suatu imbalan atau royalti harus dibayarkan, apakah saat sebelum suatu lagu dinyanyikan atau setelahnya.

Ia lantas menggarisbawahi kesaksian dari penyanyi dangdut Lesti Kejora yang menceritakan soal pengalaman awal karirnya ketika tahun 2016-2018 di mana ia membawakan lagu berjudul ‘Bagai Ranting yang Kering’ ciptaan Yoni Mulyono alias Yoni Dores. Adapaun lagu tersebut ia bawakan atas permintaan pihak penyelenggara sebagai bagian dari daftar lagu yang telah disepakati. Namun, pihak pencipta turut mensomasinya, bahkan melaporkannya ke Polda Metro Jaya yang mengakibatkan status dirinya menjadi tidak jelas.

“Sehingga kita tidak tahu harus membayarkan royalti kepada siapa karena lagunya pun juga berubah ini multitafsirnya kemudian ada pertanyaan atau polemik. Apakah kemudian royalti harus dibayarkan sebelum atau dibayarkan setelah (lagu dinyanyikan),” katanya.

Laurensia mengungkapkan bahwa ketentuan waktu pembayaran justru hanya diatur dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021, bukan dalam undang-undang Hak Cipta. PP itu menyatakan bahwa pembayaran royalti dilakukan segera setelah penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik.

“Sayangnya adanya dalam PP tersebut yang menyatakan bahwa pembayaran royalti dilakukan segera setelah penggunaan secara komersial lagu dan atau musik. Jawabannya ada di situ sebetulnya, Yang Mulia,” katanya.

Sebagau informasi, dalam permohonan para musisi nasional, mereka mempersoalkan Pasal 23 ayat 5 dalam UU Hak Cipta. Adapun ketentuan tersebut mengatur bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin kepada pencipta dengan membayar imbalan atau royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Namun, frasa ‘setiap orang’ tersebut dinilai tidak jelas dan multi tafsir. Sehingga sering ditafsirkan bahwa hanya pelaku pertunjukan (musisi) yang harus meminta izin sekaligus memberikan royalti kepada pencipta lagu.

Oleh karena itu, mereka memohon agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak djmaknai kepada pelaku pertunjukan.

Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 29 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.

Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.

Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 Undang-Undang (UU) Hak Cipta.

Para pemohon menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*