Rabu, 23 Juli 2025
Menu

Sammy Simorangkir Soroti Kekacauan Ekosistem Musik Akibat Royalti Lagu di UU Hak Cipta

Redaksi
Penyanyi sekaligus eks vokalis Kerispatih Sammy Simorangkir di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 22/7/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi
Penyanyi sekaligus eks vokalis Kerispatih Sammy Simorangkir di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 22/7/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Penyanyi sekaligus eks vokalis Kerispatih Sammy Simorangkir menyoroti terjadinya kekacauan ekosistem musik akibat permasalahan royalti lagu di Undang-Undang (UU) Hak Cipta yang dinilai tidak berpihak pada keadilan para musisi.

Hal itu ia sampaikan saat memberikan kesaksian dalam sidang uji materi perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh sejumlah musisi tanah air ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 22/7/2025.

Mulanya, ia mengungkit awal mula karier soloisnya saat dirinya dikeluarkan secara sepihak dari Band Kerispatih. Saat itu, ia mengaku dilarang secara lisan oleh pihak band untuk menyanyikan lagu-lagu Kerispatih, kecuali membayar Rp5 juta per lagu.

“Saya secara pribadi telah mengalami bentuk ketidakpastian hukum yang sangat meresahkan dan membuat tidak nyaman. Yang membuat saya kehilangan rasa aman dalam menjalankan profesi saya sebagai penyanyi,” katanya di ruang sidang, Selasa, 22/7.

Permasalahan kembali muncul ketika eks keyboardis Doadibadai ‘Badai’ Hollo keluar dari band tersebut. Ia lantas melayangkan somasi ke Kerispatih dan dirinya agar tidak menyanyikan lagu-lagu yang pernah ditulis Badai selama di band tersebut.

“Inti dari perjanjian tersebut adalah bahwa apabila saya atau Kerispatih ingin menyanyikan lagu-lagu tersebut maka masing-masing diwajibkan untuk membayar kontribusi sebesar 10 persen dari honorarium atau pendapatan off air yang diperoleh dari pertunjukan yang membawakan lagu-lagu tersebut,” katanya.

Selain itu, dirinya mengkritik keras anggapan bahwa setiap pertunjukan lagu harus mendapatkan izin langsung dari pencipta lagu. Menurutnya, narasi tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi para pelaku pertunjukan musik di berbagai daerah yang tidak memiliki akses langsung kepada pencipta.

“Permasalahan ini kemudian digiring ke ruang publik di mana pihak-pihak tertentu menggaungkan bahwa untuk membawakan dan mempertunjukkan lagu harus ada izin langsung dari pencipta,” ujarnya.

Padahal, kata dia, tidak semua musisi memiliki akses langsung terhadap pencipta laga yang mengakibatkan ketidakadilan bagi pelaku industri musik di tanah air.

Ia mengaku bangga ketika lagunya dinyanyikan oleh orang lain dan masyarakat luas. Namun, konflik personal antar individu dalam satu proyek musik, kata dia, kini berkembang menjadi kekacauan struktural yang mengancam keberlangsungan kerja kolektif dalam industri musik.

Sammy juga menyoroti potensi perpecahan antar pelaku pertunjukan lainnya, seperti pemain musik dan vokalis latar, yang merasa memiliki kontribusi dalam sebuah karya dan berpotensi saling melarang dan menuntut hak secara sepihak.

“Jika hal ini dibiarkan, ekosistem pertunjukan akan berubah menjadi arena saling membatasi alih-alih kolaborasi,” tegasnya.

Ia bahkan menyatakan mengalami langsung bagaimana tafsir sepihak dari mantan rekan kerja justru menjadi bentuk ancaman terhadap kebebasan profesinya sebagai penyanyi.

Sammy menilai, situasi ini sebagai bentuk nyata dari hilangnya rasa aman dalam menjalankan profesi secara sah. Hal tersebut, menurutnya, merupakan kerugian konstitusional karena bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil dan rasa aman sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Ia menggarisbawahi bahwa setiap lagu membutuhkan kerja kolektif dari berbagai pihak, mulai dari musisi, penata musik, produser, hingga teknisi suara.

“Jika hak eksklusif atas lagu ditafsirkan sebagai kekuasaan mutlak yang dapat membatalkan kontribusi nyata para pelaku pertunjukan, maka bukan perlindungan hukum yang terjadi melainkan ketimpangan,” katanya.

Sammy berharap MK dapat memberikan penafsiran konstitusional yang adil dan menjamin perlindungan hukum bagi seluruh pelaku pertunjukan, serta menciptakan keseimbangan antara hak pencipta dan hak-hak pelaku lainnya yang berjasa menghidupkan karya musik.

Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 29 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.

Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.

Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 Undang-Undang (UU) Hak Cipta.

Para pemohon menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi