Kamis, 24 Juli 2025
Menu

Eks Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Divonis 7,5 Tahun di Kasus Korupsi Jalur Kereta Api

Redaksi
Eks Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Prasetyo Boeditjahjono saat sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 21/7/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Eks Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Prasetyo Boeditjahjono saat sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 21/7/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Eks Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Prasetyo Boeditjahjono divonis selama tujuh tahun enam bulan pidana penjara disertai dengan hukuman denda Rp500 juta dalam kasus proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa periode 2017-2023 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp562.518.381.077.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebut bahwa Prasetyo telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama tujuh tahun enam bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti Tambunan dalam persidangan, Senin, 21/7/2025.

Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.

“Denda sejumlah Rp500 juta. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan,” tambahnya.

Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp2,6 miliar.

“Dalam hal terdakwa saat itu terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dijatuhi pidana penjara selama dua tahun dan delapan bulan,” katanya.

Adapun vonis ini lebih rendah dari pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung (JPU Kejagung) yang menuntut Prasetyo Boeditjahjono sembilan tahun penjara.

Ia juga dituntut dipidana denda Rp750 juta subsider kurungan selama enam bulan dan uang pengganti Rp2,6 miliar. Dengan ketentuan apabila harta benda tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan

Dalam pertimbangan memberatkan, majelis hakim menilai bahwa perbuatan Terdakwa bertentangan dengan upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi dan juga dirinya telah menerima hasil korupsi.

“Perbuatan Terdakwa telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintaan dalam hal ini Balai Teknik Perkerataapian (BTP) Sumut pada khususnya dan Direktorat Jenderal Perkerataapian (DJKA) pada Kementerian Perhubungan pada umumnya,” tambahnya.

Sedangkan pertimbangan meringankan, majelis menilai bahwa Prasetyo bersikap sopan di persidangan, mempunyai tanggungan keluarga dan telah berusia lanjut.

Atas perbuatannya, Prasetyo dinyatakan bersalah dan melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Untuk diketahui, kasus ini berawal ketika Prasetyo memberikan instruksi kepada Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, yang juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) periode 2016–2017 Nur Setiawan Sidik untuk mengajukan proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa.

Pengajuan proyek tersebut direncanakan akan dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara – Project Based Sukuk (SBSN-PBS) Tahun Anggaran 2017 kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Namun, sejumlah syarat penting belum dipenuhi. Di antaranya, hasil peninjauan desain paket DED-10 belum diserahkan oleh Team Leader Tenaga Ahli dari PT Dardella Yasa Guna Arista Gunawan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan KPA.

Selain itu, hasil peninjauan desain tersebut juga belum mendapatkan persetujuan dari Direktur Prasarana Perkeretaapian di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.

Beberapa syarat lain yang belum dipenuhi antara lain belum adanya penetapan trase dari Menteri Perhubungan (Menhub), tidak dilakukan prastudi kelayakan maupun studi kelayakan, belum ada analisis dampak lingkungan (AMDAL), serta proses pembebasan lahan yang belum dilakukan.

Tak hanya itu, proyek ini juga diduga tidak disertai dokumen penting seperti kerangka acuan kerja, rencana anggaran biaya, spesifikasi teknis, maupun studi kelayakan proyek.

Proyek tersebut pun tidak tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Anggaran 2017 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang RKP Tahun 2017.

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi