Rabu, 23 Juli 2025
Menu

Pedagang di Toko Online Beromzet di Atas Rp500 Juta Resmi Dikenakan Pajak

Redaksi
Ilustrasi Toko Online | Ist
Ilustrasi Toko Online | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menerbitkan aturan baru mengenai pengenaan pajak penghasilan untuk pedagang di marketplace online.

Dalam beleid tersebut dijelaskan Kementerian Keuangan akan menugaskan pemungutan pajak penghasilan kepada pihak lain yang merupakan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau penyelenggara e-commerce, macam Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan toko online lainnya.

“Pihak Lain ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri dengan mekanisme perdagangan melalui sistem elektronik,” demikian tertulis di Pasal 2 Ayat 1 beleid tersebut, Jakarta, Senin, 14/7/2025.

Sri Mulyani menegaskan bahwa pungutan yang diambil dari perdagangan online adalah pajak Penghasilan dari pedagang online adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Besarannya adalah 0,5 persen dari peredaran bruto yang dikantongi pedagang online.

“Termasuk pedagang dalam negeri sebagaimana dimaksud di ayat 1, yaitu perusahaan jasa pengiriman atau ekspedisi, perusahaan asuransi, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa melalui perdagangan melalui sistem elektronik,” tulis beleid tersebut.

Penghasilan yang dikenai pajak diatur dalam Pasal 6 ayat (6), yaitu ketika pedagang online memperoleh peredaran bruto lebih dari Rp500 juta per tahun.

Pedagang juga diharuskan menyampaikan informasi itu kepada pihak terkait dan menyampaikan bukti peredaran bruto itu.

“Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan paling lambat akhir bulan saat peredaran bruto melebihi Rp500.000.000,” tulisnya.

Diketahui sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Rosmauli angkat bicara mengenai rencana pemerintah yang akan mengenakan pajak untuk toko online atau marketplace. Pajak penghasilan (PPh) merujuk pada PPh Pasal 22.

Rosnauli menjelaskan bahwa kebijakan itu mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.

UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak dipungut pajak. Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenakan PPh dalam skema ini, sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Rosmauli kepada wartawan, Jakarta, Kamis, 26/7/2025.

Ia mengatakan, tujuan dan kebijakan itu adalah untuk menciptakan keadilan dan kemudahan. Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru.

Ketentuan itu juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan dan menutup celah shadow economy. Lalu, memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan menutup celah shadow economy, khususnya dari pedagang online yang belum menjalankan kewajiban perpajakan baik karena kurangnya pemahaman maupun keengganan menghadapi proses administrasi yang dianggap rumit. Walaupun demikian, dirinya menyebut kebijakan itu masih tahap finalisasi.

“Saat ini, peraturan mengenai penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 masih dalam proses finalisasi di internal pemerintah. Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikannya secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik,” pungkasnya.*