Tak Ada Pelanggaran Konstitusi dari Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

FORUM KEADILAN – Usai Mahkamah Konstitusi (MK) memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal, sejumlah partai politik dan juga para legislator di Senayan seolah menunjukkan penolakan terhadap putusan pengadilan yang dianggap inkonstitusional tersebut. Namun, sejumlah pakar hukum menilai bahwa tak ada pelanggaran Konstitusi atas Putusan MK tersebut.
Bahkan, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menegaskan bahwa partainya menolak dan menyesalkan adanya putusan tersebut. Dirinya juga menyoroti putusan tersebut dan menilai bahwa Mahkamah telah lalai dan melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat.
Penolakan serupa juga dilakukan oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainudin Paru yang menilai perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilu merupakan bentuk tindakan inkonstitusional.
Selain itu, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dilakukan Komisi III DPR RI pada Jumat, 4/7/2025 dengan beberapa orang, salah satunya eks Hakim MK Patrialis Akbar menyebut bahwa Putusan Mahkamah inkonstitusional.
Di samping itu, terdapat pula beberapa legislator senayan seperti Ketua Komisi II yang menunjukkan resistensi dari putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal. Lantas, apakah benar putusan MK tersebut bertentangan dengan konstitusi?
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menyebut bahwa tidak ada inkonstitusionalitas dalam putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal. Menurutnya, putusan ini justru memberikan koridor kepada pemerintah dan DPR yang saat ini tengah menggodok Undang-Undang (UU) Pemilu.
Yance menegaskan bahwa putusan MK tidak memperpanjang masa jabatan anggota DPRD maupun kepala daerah secara permanen. Menurutnya, jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah yang menyebabkan masa jabatan sementara menjadi lebih pendek atau lebih panjang hanya bersifat transisional.
“Saya tidak melihat bahwa putusan MK bertentangan dengan konstitusi karena sebenarnya, pemilu itu tetap lima tahun dan tidak ada implikasi membuat pemilu itu secara permanen lebih dari lima tahun. Tidak ada,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 7/7.
Ia tidak menafikkan bahwa terdapat implikasi dari putusan tersebut. Namun, hal tersebut hanya terjadi dalam proses transisi pemilu lokal dalam pemilihan kepala daerah atau DPRD.
Yance kembali menegaskan bahwa penambahan masa jabatan dalam proses transisi pemilu bukan suatu pelanggaran Konstitusi. Ia pun mencontohkan bahwa ‘anomali’ transisi juga pernah terjadi yaitu saat penyesuaian jadwal pilkada serentak.
“Saya pikir itu hal yang wajar dalam perubahan yang seperti itu, ada anomali dalam masa transisi karena kemudian ada DPRD dan kepala daerah yang akan menjabat 2,5 tahun. Itu implikasi untuk mengatur jadwal pemilu,” katanya.
Sebelumnya, MK menyatakan agar pemilihan calon presiden/wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (nasional) dipisahkan dengan pemilihan calon gubernur, bupati, wali kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (daerah) pada tahun 2029 mendatang.
MK menyatakan bahwa pemungutan suara pemilu nasional digelar secara serentak, lalu baru disusul dengan pemilu daerah dalam waktu paling cepat 2 atau 2,5 tahun atau, pemilu daerah juga bisa dilaksanakan sejak pelantikan DPR, DPD ataupun presiden-wakil presiden.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyoroti besarnya beban kerja penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah yang diselenggarakan secara serentak pada tahun 2024.
MK juga menyoroti dampak negatif dari pelaksanaan pemilu serentak yang waktu penyelenggaraannya saling berdekatan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah. Mahkamah menilai, kondisi tersebut bukan hanya membebani pemilih, tapi juga mengurangi kualitas demokrasi dan mengabaikan isu-isu pembangunan daerah.
Oleh karena itu, Mahkamah meminta kepada pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR untuk melakukan constitutional engineering atau rekayasa konstitusi dalam pemisahan pemilu nasional dan daerah. Hal ini lantaran mau tidak mau, masa waktu pemilu daerah bisa dua tahun atau 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Itu berarti, pemilu daerah baru akan digelar setelah tahun 2029.
Resistensi Politik
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah memicu resistensi politik dari sejumlah anggota DPR dan elite partai politik. Narasi penolakan yang mereka bangun berkisar pada kekhawatiran akan munculnya ketidakpastian hukum dan kekacauan dalam sistem pemilu.
Yance mengatakan, resistensi dari sejumlah kalangan terhadap putusan MK ini terkesan aneh. Sebab, pengaturan ulang jadwal seharusnya menguntungkan partai politik karena memberi ruang konsolidasi lebih baik.
“Ada resistensi secara implisit bahwa pemerintah dan DPR hendak mengubah model pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi tidak langsung,” katanya.
Namun, ia menilai, resistensi tersebut muncul karena kekhawatiran tersembunyi bahwa putusan ini menutup peluang pemerintah dan DPR mengubah sistem pilkada menjadi tidak langsung.
“Putusan MK justru mengunci agar pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung dan bersamaan dengan pemilihan DPRD. Artinya, tidak ada opsi untuk kembali ke model pemilihan tidak langsung,” ungkapnya.
Ia bahkan menilai keputusan MK ini sebagai langkah menyelamatkan demokrasi dari ancaman kemunduran. Apalagi, kata dia, beberapa kali Presiden Prabowo Subianto melemparkan wacana agar pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara tidak langsung, yakni melalui tangan DPRD.
“Dalam beberapa kesempatan, Presiden terpilih Prabowo Subianto sempat menyampaikan wacana pemilihan kepala daerah tidak langsung. Kalau itu terjadi, demokrasi kita bisa mengalami kemerosotan. MK kini mencegah hal itu,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PusakO) Universitas Andalas Charles Simabura menilai bahwa putusan Mahkamah dalam pemisahan pemilu nasional dan lokal tidak melanggar Konstitusi. Apalagi, kata dia, MK merupakan lembaga yang diberi kewenangan untuk menafsirkan UUD 1945.
“Nggak (melanggar konstitusi) dong. Karena MK diberi wewenang untuk menafsir konstitusi,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan.
Dalam teori konstitusi, kata dia, perubahan konstitusi bisa dilakukan melalui penafsiran atas teks dari konstitusi itu sendiri, baik perubahan secara formal ataupun secara non formal tanpa harus mengubah suatu teks konstitusi.
Selain itu, dia juga menyoroti pernyataan sejumlah legislator Senayan dan juga elite partai politik yang mulai menunjukkan penolakan terhadap putusan tersebut.
Padahal, kata dia, rekayasa konstitusi yang disebut MK dalam pertimbangan putusannya tidak sekalipun menyebut opsi alternatif pemilu mendatang, yakni memperpanjang masa jabatan DPRD ataupun mengangkat Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Menurutnya, opsi pelaksanaan pemilu selanjutnya harus dipikirkan langsung oleh para pembentuk UU.
“Rekayasa konstitusional itu kan MK tak berikan apakah dengan memperpanjang ataupun juga mengangkat Pj. Alih-alih menerima desain itu, DPR malah ramai-ramai menolak putusan Mahkamah,” ucapnya.
Dirinya lantas mempertanyakan apabila lembaga legislatif malah menolak putusan pengadilan yang sejatinya memiliki kewenangan dalam menafsirkan konstitusi. Hal ini, kata dia justru menunjukkan tidak adanya rasa hormat dari DPR atas putusan pengadilan.
“Jadi, ketika sebuah lembaga legislatif menyatakan menolak sebuah keputusan pengadilan, bagaimana kita bisa menghormati pengadilan. Termasuk juga DPR sendiri akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat,” ucapnya.
Di sisi lain, kata dia, Mahkamah sudah memberikan sejumlah putusan terkait UU Pemilu, salah satunya melalui putusan Nomor 55/2020 yang memberikan sejumlah opsi pelaksanaan pemilu. Namun, semenjak tahun 2019 hingga saat ini, pembentuk UU tidak melakukan evaluasi.
Charles juga menilai bahwa adanya putusan ini justru membantu pekerjaan DPR dalam menyusun UU Pemilu yang baru.
“Atas putusan ini sebenarnya DPR terbantu dengan kerjaan ini, tidak lagi berdebat seperti apa desain pemilu tinggal bagaimana mendesain pelaksanaannya agar konstitusional. Termasuk juga apakah memang akan mengharuskan di masa jeda ini, putusan MK ini, ada pemilu atau tidak di 2029,” katanya.
Risiko Pemerintah dan DPR Jika Tak Patuh Putusan MK
Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai bahwa munculnya kritik terhadap putusan Mahkamah merupakan hal yang wajar. Apalagi, menurutnya, putusan MK sendiri tidak mungkin bisa menyenangkan semua pihak.
Namun, kata dia, apabila sejumlah elite partai politik ataupun legislator Senayan menyatakan Putusan Mahkamah Tidak mengikat, hal tersebut justru mengancam demokrasi konstitusional Indonesia. Apalagi, dalam konstitusi sudah dinyatakan bahwa putusan MK final dan mengikat, termasuk ke pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah.
“Menyatakan Putusan MK tidak mengikat adalah pernyataan yang berbahaya dan mengancam negara hukum dan demokrasi konstitusional di Indonesia,” kata Titi saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 7/7.
Apalagi, kata dia, masyarakat juga kerap menerima implementasi Putusan Mahkamah yang dinilai kontroversial dan merugikan publik, salah satunya soal Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal usia calon di pilpres. Adapun putusan ini memberikan karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka maju menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Dirinya lantas menyindir sejumlah pernyataan legislator dan parpol yang diam saja ketika Mahkmah memutus perkara tersebut.
“Faktanya, semua partai diam dan tidak berkomentar merespon kritik publik,” ucapnya.
Ia lantas meminta kepada partai politik dan pembentuk UU untuk membangun deliberasi dan partisipasi masyarakat atas opsi terbaik dan tepat dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah dalam pemisahan pemilu nasional dan daerah agar bisa diakomodasi di UU Pemilu yang baru.
Titi juga mengingatkan bahwa masih banyak persoalan dalam sistem pemilu Indonesia yang perlu dibenahi. Menurutnya, revisi UU Pemilu seharusnya tidak hanya berfokus pada format keserentakan, tetapi juga pada aspek sistem pemilu, manajemen penyelenggaraan, penegakan hukum, hingga pemanfaatan teknologi.
“Aspek format keserentakan hanya satu saja dari sekian persoalan yang perlu diatur dengan baik oleh pembentuk UU. Maka, segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu,” katanya.
Apabila DPR dan pemerintah tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah, kata dia, maka hal tersebut dapat memberikan preseden buruk yang dapat membangkitkan amarah publik.
Ia pun mencontohkan, saat DPR tidak melaksanakan putusan MK terkait ambang batas pencalonan pilkada yang disikapi dengan protes masyarakat yang meluas.
“Maka, apabila ada sikap serupa saat ini, saya kira pasti akan sangat destruktif sekali dampaknya,” katanya.
Padahal, hal tersebut justru merugikan Presiden Prabowo dalam membangun stabilitas politik dan hukum, terutama dalam menjalankan beberapa program-program strategisnya.
“Instabilitas politik akan sangat buruk bagi pemerintahan Prabowo dan akan mengganggu upaya pembangunan yang optimal,” katanya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi