Selasa, 01 Juli 2025
Menu

Pemisahan Pemilu Nasional-Daerah Bakal Berdampak pada Penyesuaian UU dan Strategi Politik

Redaksi
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, di Gedung MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 30/6/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, di Gedung MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 30/6/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Wakil Ketua MPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Ia menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dilaksanakan sesuai ketentuan.

“Ya, kami melihat bahwa putusan MK itu bagaimanapun juga final dan mengikat sehingga harus berjalan,” katanya, saat ditemui di Gedung MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 30/6/2025.

Menurutnya, pemisahan jadwal pemilu nasional dengan pemilu daerah, termasuk pilkada, akan membawa berbagai penyesuaian bagi partai politik. Ia mencontohkan, selama ini pemilu legislatif nasional yang mencakup DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan serentak, sehingga para calon legislatif (caleg) bisa ‘bertandem’ (bersama).

Namun, dengan adanya pemisahan, tandem tersebut tidak lagi dimungkinkan, yang akan berdampak pada strategi kampanye para caleg.

Selain itu, Eddy menegaskan bahwa konsekuensi lain dari pemisahan pemilu adalah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah yang masa jabatannya terimbas pergeseran jadwal pilkada.

“Sehingga masa perpanjangan itu juga memang harus ada landasan hukumnya, karena para pejabat daerah hasil pilkada, termasuk anggota DPRD Provinsi, itu kan dilantik untuk masa jabatan 5 tahun,” ujarnya.

Eddy juga menyoroti dampak pemisahan pemilu terhadap anggaran. Ia menilai, penyatuan pemilu nasional dan pilkada pada 2024 dimaksudkan untuk efisiensi biaya, tetapi kenyataannya tidak sesuai harapan.

“Sehingga kita harus melihat kira-kira dampak daripada perubahan akibat putusan MK itu seperti apa,” katanya.

Meski demikian, Eddy melihat sisi positif dari pemisahan pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, pemisahan agenda pemilu ini justru memungkinkan isu-isu kedaerahan yang selama ini tenggelam oleh isu nasional dapat lebih terangkat dan mendapatkan perhatian khusus dari partai politik, tokoh daerah, hingga masyarakat.

“Permasalahan-permasalahan daerah yang memang spesifik dari satu tempat ke tempat yang lain itu bisa kemudian ditangani dengan baik,” jelasnya.

Terkait strategi politik ke depan, Eddy menyebut PAN sedang melakukan kajian mendalam untuk menghadapi pemilu mendatang. Salah satunya terkait penentuan dasar perhitungan kursi untuk pilkada jika pelaksanaan pilkada daerah dilakukan pada 2031, dua tahun setelah pemilu legislatif nasional.

“Kita saat ini sedang melakukan kajian. Misalkan salah satu kajiannya adalah jika memang dilaksanakan pilkada bersama-sama dengan pemilu di daerah itu tahun 2031, dua tahun setelah pemilu legislatif nasional, kira-kira nanti hasil kursi yang dijadikan dasar perhitungan untuk pilkada itu kursi dari hasil pemilu kapan?” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa strategi PAN akan menyesuaikan dengan dinamika tersebut, termasuk memperhitungkan potensi konsekuensi biaya tambahan akibat hilangnya kesempatan tandem caleg.

“Tentu, penyesuaian harus dilakukan oleh anggota DPR, salah satunya tadi juga saya sampaikan masalah tandem, yang tadinya kita bisa menghemat biaya dengan tandem, sekarang mungkin ada konsekuensi tambahan biaya,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari