MK Pisahkan Pemilu, Pengamat: Redam Wacana Pilkada via DPRD

FORUM KEADILAN – Pengamat politik dari Citra Institute Yusak Farchan menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah merupakan langkah yang strategis dan membawa banyak dampak positif bagi demokrasi di Indonesia.
“Desain pemilu serentak selama ini memang bermasalah karena beban kerja teknis penyelenggara yang terlalu berat,” ujar Yusak kepada Forum Keadilan, Senin, 30/6/2025.
Menurut Yusak, kekhawatiran terkait pembengkakan anggaran akibat pemisahan waktu pemilu nasional dan lokal seharusnya tidak menjadi alasan untuk menolak putusan MK.
“Pemilu itu mau berapa pun biayanya, saya kira pemerintah akan siap. Karena pemilu menjadi sarana sirkulasi elite nasional dan lokal, semua pihak berkepentingan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa yang paling penting adalah memastikan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan anggaran tetap terjaga.
Lebih lanjut, Yusak menilai, pemisahan waktu pemilu juga membawa implikasi politik yang signifikan, khususnya dalam menjaga sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.
“Salah satu implikasi positifnya adalah memperkecil peluang pilkada dipilih oleh DPRD,” ujarnya.
Yusak menjelaskan, jika pilkada dan pemilu DPRD digelar di hari yang sama, akan muncul kerumitan apabila wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD benar-benar diterapkan.
“Kalau pilkada dan pemilu DPRD-nya dilakukan di hari yang sama, bagaimana mungkin kepala daerah dipilih oleh DPRD sementara hasil pemilu DPRD-nya saja belum ada?” katanya.
Dengan demikian, menurut Yusak, putusan MK secara tidak langsung menjadi pengunci bagi wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD.
“Jadi desain pilkada ke depan arahnya tetap pemilihan langsung oleh rakyat,” tandasnya.
Diketahui sebelumnya, MK memutuskan penyelenggaran pemilihan umum atau pemilu di tingkat nasional seperti pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah.
Mahkamah mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Perludem meminta MK untuk mencabut frasa ‘pemungutan suara dilaksanakan secara serentak’ dalam Pasal 167 ayat 3 UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.*
Laporan oleh: Muhammad Reza