MK: Pemilu Serentak Timbulkan Kejenuhan Pemilih dan Tenggelamkan Isu Daerah

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti dampak negatif dari pelaksanaan pemilu serentak yang waktu penyelenggaraannya saling berdekatan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah. Mahkamah menilai, kondisi tersebut bukan hanya membebani pemilih, tapi juga mengurangi kualitas demokrasi dan mengabaikan isu-isu pembangunan daerah.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan perkara Nomor 135/PUU-XXII/20204 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 167 ayat 3, Pasal 347 ayat 1 Undang-Undang (UU) Pemilu dan Pasal 3 ayat 1 UU Pilkada yang mengatur ketentuan soal pemilu serentak.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian amar putusan tersebut. MK menyatakan bahwa pemungutan suara pemilu nasional digelar secara serentak lalu baru disusul dengan Pemilu Daerah dalam waktu paling cepat 2 atau 2,5 tahun.
Opsi lainnya yaitu, pemilu daerah juga bisa dilaksanakan sejak pelantikan DPR, DPD ataupun presiden-wakil presiden .
Saldi menjelaskan, pelaksanaan pemilihan presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD yang berdekatan dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, mengakibatkan waktu yang tersedia bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu menjadi sangat terbatas.
“Hal ini menyebabkan minimnya waktu bagi pemilih menilai kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota DPR,” ujar Saldi di Gedung MK, Kamis, 26/6/2025.
Tak hanya itu, Mahkamah menilai bahwa isu-isu daerah kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk isu nasional. Hal ini, kata Saldi, diperparah dengan penggabungan pemilihan DPRD ke dalam pemilu serentak nasional, yang menurutnya membuat perhatian publik lebih tersedot ke perdebatan di tingkat pusat.
“Padahal, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” ucapnya.
Selain itu, penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah secara serentak juga berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum.
“Kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang menggunakan model 5 (lima) kotak,” katanya.
Mahkamah menilai bahwa hal ini membuat fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas.
“Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” katanya.
MK juga menyoroti peristiwa paska pemungutan suara di TPS pada Pemilu 2019 karena rumitnya penghitungan suara dan juga terbatasnya waktu rekapitulasi suara. Peristiwa ini mengakibatkan banyaknya penyelenggara pemilu yang menjadi korban, baik yang jatuh sakit ataupun meninggal dunia.
Sebelumnya, MK menyatakan agar pemilihan calon presiden/wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (nasional) dipisahkan dengan pemilihan calon gubernur, bupati dan walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (daerah) pada tahun 2029 mendatang.
Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perludem yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 167 ayat 3, Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu dan Pasal 3 ayat 1 UU Pilkada. Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian amar putusan tersebut.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Kamis, 26/6.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi