FORUM KEADILAN – Pasca kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melenggang ke parlemen pada Pemilu 2024, masa depan partai berlambang Ka’bah ini semakin dipertanyakan.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menilai bahwa delapan nama yang disampaikan oleh Romahurmuziy sebagai bursa calon Ketua Umum (Caketum) PPP merupakan bentuk dari potensi penyegaran dan upaya mereformasi wajah partai.
“Ini menjadi sinyal kuat adanya keinginan regenerasi. Kemarin Mardiono masih disebut-sebut, sekarang tidak lagi, artinya ada dorongan perubahan,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat, 16/5/2025.
Menilik kesembilan nama tersebut, Cecep menjelaskan beberapa kelebihan, tantangan dan potensi perubahan dari latar belakang masing-masing nama yang masuk dalam bursa Caketum PPP.
Pertama, Arwani Thomafi, menurut Cecep, sebagai kader internal PPP di bawah kepemimpinan Mardiono dan berpengalaman di legislatif, Arwani dianggap memiliki kontinuitas secara struktural. Namun, keterbatasannya terletak pada popularitas di publik serta kedekatannya dengan manajemen lama yang dianggap gagal.
“Tantangannya, dia bagian dari rezim yang gagal membawa PPP ke parlemen. Ini bisa menjadi kesinambungan dari kegagalan,” ujarnya.
Kedua, Taj Yasin Maimoen, putra ulama karismatik KH. Maimoen Zubair ini memiliki kekuatan kultural dan religius, serta saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah.
“Tapi dia masih muda dan belum teruji kepemimpinannya di nasional. Tapi potensinya memiliki daya tarik kultural dan religius dalam mempersatukan suara PPP dan NU (Nahdlatul Ulama),” ucapnya.
Ketiga, ada Sandiaga Uno, nama yang paling bersinar secara nasional. Sandiaga memiliki latar belakang pengusaha, mantan menteri, dan pengguna aktif media sosial. Namun, ia baru bergabung dengan PPP pada 2023.
“Dia dianggap bukan kader organik. Tapi punya daya tarik elektoral dan logistik, aktif disosmed,” tegas Cecep.
Keempat, Menteri Sosial Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul, sebagai kader NU, mantan Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Timur (Jatim), dan eks Ketua GP Ansor, Gus Ipul punya koneksi kultural kuat. Namun, menurut Cecep, rekam jejaknya tidak cukup mengesankan.
“Tidak terlalu berhasil di Jatim, dan tidak bisa menggerakkan basis NU. Tapi bisa jadi kandidat konsensus NU-PPP,” katanya.
Kelima, Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Ia dikenal sebagai pengusaha sukses, tapi minim afiliasi ke basis NU dan PPP.
“Kuat di kalangan pengusaha saja, tidak cukup untuk membangkitkan elektabilitas partai,” ujarnya.
Keenam, Dudung Abdurrahman. Sebagai Purnawirawan jenderal, dia memiliki citra religius dan nasionalis, namun tidak memiliki kedekatan struktural dengan PPP.
“Dia bisa membawa PPP ke arah partai nasionalis religius, tapi butuh adaptasi besar,” jelas Cecep.
Ketujuh, Marzuki Alie yang merupakan Mantan Ketua DPR RI. Ia punya pengalaman politik luas. Namun, konflik masa lalunya dengan Partai Demokrat yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan tidak adanya latar belakang religius bisa menjadi hambatan.
“Dia tokoh politik berpengalaman, tapi kurang cocok dengan karakter dasar PPP,” katanya.
Kedelapan, Agus Suparmanto. Cecep berpandangan Agus tidak populer dan tidak punya basis kuat di PPP. Demikian juga untuk urutan nama kesembilan Caketum PPP, Abdul Rahman, yang dikenal sebagai Gusdurian, namun dinilai kurang dikenal publik.
“Agus lebih cocok di balik layar. Abdul Rahman punya historis NU, tapi jujur saya juga kurang mengenal dia,” tuturnya.
Dari kedelapan kandidat, Cecep menilai Sandiaga memiliki modal paling kuat secara elektoral, finansial, dan jaringan kekuasaan.
“Sandi itu kandidat kuat. Ia punya logistik, nama besar, dan dekat dengan Jokowi serta Prabowo. Jika mengelola partai dengan baik, ia bisa kembali mencuat di 2029, mungkin sebagai cawapres,” ujarnya.
Namun, Cecep juga menyebut Taj Yasin, sebagai opsi kuat lainnya, terutama jika PPP ingin kembali ke akar tradisional dan kulturalnya.
“Jika PPP ingin memperkuat akar NU dan religiusnya, Yasin adalah pilihan tepat. Gagalnya PPP di Pemilu 2024 karena kelemahan internal,” tegasnya.
Di tengah perubahan lanskap politik, Cecep mengingatkan agar PPP tidak hanya mengandalkan basis tradisional, namun bisa terus berkembang mengikuti karakter pemilih.
“Tokoh-tokoh PPP selama ini tidak bisa menyesuaikan diri dengan karakteristik pemilih saat ini. Relasi PPP dengan elektoral juga sangat lemah,” pungkasnya.*
Laporan Novia Suhari