Maqdir Ismail Sebut Perlu UU Khusus Atur Obstruction of Justice

FORUM KEADILAN – Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Maqdir Ismail menilai pentingnya pembentukan undang-undang khusus yang mengatur secara jelas perbuatan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ).
Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Hukum bertajuk ‘Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power?’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, 2/5/2025.
Mulanya, Maqdir menyoroti perbedaan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dan KUHP Belanda dalam menangani perkara OOJ. Ia menyebut KUHP di Belanda membatasi perbuatan OOJ yaitu pada tindakan yang secara sengaja tidak menuruti perintah UU. Sementara di Indonesia, kata Maqdir, istilah OOJ masih multitafsir.
“Apa ukurannya (OOJ) segala hal ini? Yang merintangi langsung, tidak langsung, itu seperti apa? Ada enggak ketentuan dalam undang-undang?” kata Maqdir.
Ia menilai, kondisi ini bisa membuka celah kriminalisasi, termasuk terhadap jurnalis. Ia mempertanyakan dasar hukum jika seorang wartawan dituduh melakukan OOJ karena memberitakan informasi yang dianggap menyesatkan.
“Kalau misalnya teman kita yang wartawan itu membuat pemberitaan menyesatkan, apakah dia melanggar undang-undang? Kita tidak punya ketentuan yang jelas soal itu,” katanya.
Ia mengusulkan agar setidaknya ada empat kriteria yang dapat dikategorikan sebagai OOJ, yakni membuat keterangan atau berita menyesatkan, menyuruh orang menahan informasi, membuat tuduhan palsu, dan menyuruh orang mengakui perbuatan yang tidak dilakukan.
Namun sayangnya, menurutnya, keempat kriteria ini belum diatur secara eksplisit dalam hukum nasional.
“Yang harus kita dorong bukan hanya soal KUHAP, tapi kita perlu undang-undang khusus tentang obstruction of justice. KUHAP itu hanya alat untuk penegakan hukum. Tetapi, materi dari perbuatan orang itu akan diukur dengan undang-undang,” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi