Kamis, 03 Juli 2025
Menu

Pengamat Sosial Soroti Dugaan Eksploitasi Terhadap Mantan Pekerja OCI

Redaksi
Debi (kiri) dan Butet (kanan) korban Perbudakan OCI dalam podcast Madilog Forum Keadilan TV, Selasa, 22/4/2025 | YouTube Forum Keadilan TV
Debi (kiri) dan Butet (kanan) korban Perbudakan OCI dalam podcast Madilog Forum Keadilan TV, Selasa, 22/4/2025 | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Dugaan eksploitasi terhadap mantan pekerja Oriental Circus Indonesia (OCI) di Taman Safari Indonesia (TSI) menuai sorotan tajam dari berbagai pihak.

Diketahui, para pekerja sirkus telah mengalami eksploitasi yang berkepanjangan, termasuk upah yang tidak layak, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi.

Menyoroti hal ini, Pengamat sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Bakhrul Khair Amal mengatakan bahwa apa yang terjadi merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara sistematis.

“Kalau sudah ada testimoni, ada fakta kejadian yang bisa dilihat, dirasakan, dan punya bukti serta saksi, berarti ini bukan lagi isu asumsi. Ini nyata. Telah terjadi eksploitasi antara masyarakat lemah oleh masyarakat kuat,” kata Bakhrul dalam wawancara dengan Forum Keadilan, Senin, 21/4/2025.

Ia menegaskan bahwa dalam relasi sosial dan ekonomi, masyarakat lemah berada di posisi bawah, sedangkan pemilik modal atau kelompok kuat berada di atas. Ketimpangan ini, menurut Bakhrul, telah menciptakan ruang eksploitasi yang sangat mirip dengan konsep penindasan dalam teori Marxisme, yakni antara kaum proletar dan borjuis.

“Yang kita lihat, ini bukan hanya pelanggaran terhadap aturan ketenagakerjaan, tapi juga pelanggaran terhadap hak dan kewajiban perusahaan terhadap karyawan. Tinggal bagaimana pendekatan hukum dalam perspektif keadilan, kepastian, dan kemanfaatan itu bisa ditegakkan,” lanjutnya.

Bakhrul juga menyoroti pentingnya proses penegakan hukum yang adil. Menurutnya, suara para korban yang kini mulai muncul ke publik sudah bisa menjadi alat bukti eksploitasi.

“Ketika korban sudah bersuara, itu adalah bentuk awal dari alat bukti. Maka, prosesnya harus diarahkan pada kepentingan masyarakat yang hak asasinya dilanggar, mulai dari hak pendapatan, waktu kerja, hingga hak-hak reproduksi seperti cuti hamil dan melahirkan,” ucapnya.

Eksploitasi ini, lanjut Bakhrul, bahkan diduga sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Ia menyebut bahwa dalam kondisi seperti itu, negara dan aparat hukum tak bisa hanya menjadi penonton.

“Kalau ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun, maka apa yang terjadi adalah bentuk perbudakan modern. Kekerasan dalam eksploitasi itu bisa berbentuk tenaga, verbal, hingga psikologis. Itu semua harus dirinci oleh hukum,” ujarnya.

Bakhrul juga menyinggung rekomendasi Komnas HAM terkait kasus ini. Ia mempertanyakan sejauh mana rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

“Kalau Komnas HAM menyatakan bahwa ini sudah terjadi selama 28 tahun, lalu ada rekomendasi dari Komnas HAM, pertanyaannya adalah, setelah itu, apa yang dilakukan oleh penegak hukum? Kenapa tidak ada intervensi?” katanya.

Menurutnya, hukum seharusnya tidak berpihak dan berlaku adil bagi semua warga negara tanpa melihat status sosial atau kekuatan modal. Namun kenyataannya, Bakhrul melihat adanya ketimpangan dalam penegakan hukum itu sendiri.

“Hukum harus legalitarian, artinya sama kedudukannya di mata hukum, tapi faktanya, hukum itu sering lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dan itu bukti nyata bagaimana hukum bisa gagal jika negara tidak hadir,” ujarnya.

Bakhrul pun menutup pernyataannya dengan kritik tajam terhadap lemahnya penegakan hukum yang hanya menjadi simbol tanpa tindakan nyata.

“Hukum itu seharusnya menjadi panglima. Tapi kalau penegakan hukumnya tidak hadir, berarti yang gagal bukan hukum itu sendiri, tapi institusi yang menjalankannya. Penegakan hukum adalah jantung keadilan, bukan sekadar slogan,” tegasnya.

Kasus dugaan eksploitasi dan perbudakan ini membuka mata publik akan pentingnya pengawasan ketat terhadap praktik ketenagakerjaan dan pelaksanaan hak-hak pekerja, terlebih di sektor-sektor hiburan dan atraksi yang kerap luput dari sorotan hukum.*

Laporan Ari Kurniansyah