Bareskrim Enggan Usut Dugaan Korupsi Kasus Pagar Laut, Cerminan Mandeknya Reformasi Peradilan

FORUM KEADILAN – Bareskrim Polri enggan mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pemalsuan surat kasus pagar laut Tangerang sebagaimana arahan dari Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai bahwa hal tersebut mencerminkan mandeknya reformasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Kepolisian seolah menjadi entitas yang memiliki kewenangan mutlak dalam melakukan proses penyelidikan sampai penyidikan tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat,” kata Bambang kepada Forum Keadilan, Sabtu, 12/4/2025.
“Fungsi koordinasi dengan penuntut kejaksaan dalam hal ini menjadi hilang atau terabaikan kepolisian,” tambahnya.
Situasi ini, kata dia, menjadikan proses penyidikan sangat tergantung pada itikad baik dan integritas penyidik.
Menurutnya, hal tersebut membuka ruang bagi potensi penyimpangan, termasuk dalam penanganan kasus-kasus besar yang melibatkan kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
“Asumsi yang muncul di publik pada akhirnya adalah Bareskrim sedang melokalisir kasus tersebut sebatas operator atau pelaku di lapangan tanpa ada upaya menyidik aktor intelektual di balik kasus tersebut,” ucapnya.
Padahal, kata dia, kasus ini sangat mungkin melibatkan pemodal besar dan elit berpengaruh.
“Apalagi jika sudah ada arahan dari kejaksaan bahwa kasus ini masuk dalam kategori tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Bambang juga menyoroti kemungkinan perbedaan tafsir hukum antara Bareskrim dan Kejaksaan. Bila Bareskrim mengacu pada KUHP baru yang baru akan berlaku pada 1 Januari 2026, maka secara normatif mereka bisa berkelit dari jerat tanggung jawab.
Namun, jika merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), maka meskipun belum ada kerugian negara yang dihitung, indikasi perilaku koruptif seharusnya sudah cukup untuk menjerat para aktor intelektual.
“Indikasi itu sudah ada. Ini bukan soal bisa atau tidak, tapi soal kemauan untuk menuntaskan kasus,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyebut bahwa pihaknya telah menerima surat dari penyidik Polri terkait pengiriman kembali berkas perkara 4 tersangka pagar laut per tanggal 10 April 2025.
“Saat ini Tim JPU sedang mempelajari dan meneliti kembali, jika hasil penelitiannya sudah ada nanti kita sampaikan,” kata Harli kepada Forum Keadilan.
Sebelumnya, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro berkeyakinan bahwa tidak ada unsur tindak pidana korupsi dalam kasus pagar laut Tangerang.
Ia menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi ahli, termasuk pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atas pengembangan kasus dokumen Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah pagar laut Tangerang, belum ditemukan indikasi kerugian negara.
“Kita diskusikan kira-kira ini ada kerugian negara di mana ya. Mereka (BPK) belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara,” ucap Djuhandhani, Kamis, 10/4.
Padahal, Kejagung sebelumnya mengembalikan berkas perkara dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen atas wilayah perairan laut di Desa Kohod. Kejagung menduga sertifikat tersebut diduga digunakan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam proyek pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.
Menurut analisis JPU, ada indikasi kuat bahwa penerbitan SHM dan SHGB dilakukan secara melawan hukum karena hal tersebut diduga meliputi pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, serta adanya indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh para tersangka, termasuk Kepala Desa dan Sekretaris Desa Kohod.
Kejagung juga menilai terdapat potensi kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara sebagai akibat dari penguasaan wilayah laut secara ilegal.*
Laporan Syahrul Baihaqi