Sabtu, 26 Juli 2025
Menu

Bareskrim Bersikeras Tidak Ada Unsur Korupsi di Kasus Pagar Laut Tangerang

Redaksi
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro saat memberikan keterangan kepada media di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 10/4/2015 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro saat memberikan keterangan kepada media di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 10/4/2015 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) usai mengirim jawaban atas pengembalian berkas perkara pemalsuan dokumen penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di Desa Kohod, Tangerang, ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kasus pemalsuan tersebut terkait dengan masalah pagar laut.

“Kami sudah membaca dan mempelajari petunjuk P19 dari Kejaksaan. Penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tidak pidana korupsi,” ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro, di gedung Mabes Polri, Kamis, 10/4/2025.

Diketahui sebelumnya, pada 24/4/2025, Jaksa mengembalikan berkas perkara 4 tersangka kasus pemalsuan HGB di Desa Kohod dan meminta agar penyidik Polri menindaklanjuti perkara tersebut ke ranah tindak pidana korupsi.

Dikarenakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menganalisis terdapat sejumlah tindakan melawan hukum dalam penerbitan HGB dan SHM di wilayah laut Desa Kohod tersebut. Yaitu, pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dan indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh tersangka.

Jaksa itu mengindikasikan bahwa penerbitan sertifikat HGB dan SHM di atas perairan laut Desa Kohod digunakan untuk dapat memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam pengerjaan proyek pengembangan Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.

Usai mendapat petunjuk dari Jaksa, Djuhandani mengatakan bahwa pihaknya mengadakan diskusi dengan sejumlah ahli, salah satunya BPK. Hasil diskusi yang dilakukan belum ditemukan adanya kerugian negara.

Hal tersebut mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, Djuhandhani mengatakan tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata. Hal tersebut adalah konsekuensi hukum dari penghapusan frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.

Berdasarkan putusan, lanjutnya, suatu tindak pidana dapat disebut tindak pidana korupsi hanya jika terbukti terdapat kerugian negara. Kerugian harus dihitung oleh lembaga yang berwenang yaitu BPK atau BPKP.

“Itu jawaban kami kepada JPU,” katanya.

Di sisi lain, Djuhandhani menyebut bila saat ini Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri telah menyelidiki, apakah memang ada indikasi suap atau pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara dalam penerbitan HGB dan SHM di perairan laut Desa Kohod.

Bila nantinya Kortas Tipikor menemukan adanya suap atau gratifikasi, Djuhandhani menyebut surat pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) akan dibuat terpisah. Karena tindak pidananya berbeda.

Ia menjelaskan, berdasarkan asas Lex Consumen Derogat Legi Consumte, maka fakta-fakta yang dominan dalam sebuah perkaralah yang digunakan.

“Melihat posisi kasus tersebut fakta yang dominan adalah terkait pemalsuan dokumen dimana tidak menyebabkan kerugian negara terhadap keuangan negara ataupun perekonomian negara,” terangnya.

Prinsipnya ia mengatakan penyidik Bareskrim tetap pada posisi awal yaitu menyidik tentang pemalsuan sertifikat.

“Nggak sampai gratifikasi” tambahnya.

Diketahui, saat ini polisi telah menetapkan 4 tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen HGB dan SHM terkait dengan masalah pagar laut di Desa Kohod. Mereka adalah Kepala Desa Kohod Arsin bin Asip, Sekretaris Desa (Sekdes) Kohod Ujang Karta, berserta dua kuasa hukum dari Kantor Septian Wicaksono Law Firm yakni Septian Prasetyo dan Candra Eka.*