FORUM KEADILAN – Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam rencana revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Koalisi menilai, revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia terhadap berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta kewajiban hukum HAM internasional.
Menurut Koalisi, draf revisi UU TNI bertentangan dengan rekomendasi dari berbagai mekanisme HAM internasional, termasuk Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan CAT, berkewajiban memastikan akuntabilitas militer serta perlindungan hak-hak sipil.
Koalisi menyoroti bahwa revisi UU TNI justru mengabaikan rekomendasi berbagai lembaga HAM internasional. Pertama, Komite HAM PBB (2023) mendesak Indonesia untuk mengakhiri imunitas TNI, mengadili kasus pelanggaran HAM di pengadilan sipil, serta menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
“Kedua, merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan membatasi peran TNI hanya untuk ancaman eksternal. Ketiga, pelopor khusus PBB tentang penyiksaan, menyoroti praktik penyiksaan yang dilakukan aparat militer, khususnya di wilayah konflik,” tulis koalisi, dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 16/3/2025.
Selain itu, koalisi juga menilai, revisi ini melanggar prinsip-prinsip utama reformasi sektor keamanan dan hak asasi manusia. Di antaranya, pertama, pelanggaran terhadap rekomendasi CCPR/UPR Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer atas kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC.
Kedua, mengabaikan prinsip pemisahan militer-sipil, keterlibatan TNI dalam proyek pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar prinsip dasar PBB tentang peran militer, yang ditegaskan dalam rekomendasi UPR 2017.
Ketiga, bisnis militer yang mengancam HAM, revisi ini tidak menghapus bisnis militer, bertentangan dengan prinsip PBB tentang bisnis dan HAM serta rekomendasi UPR agar Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.
Keempat, ketidakpatuhan terhadap konvensi anti-penyiksaan (CAT), di mana tidak adanya mekanisme pencegahan penyiksaan dalam operasi militer yang melanggar kewajiban Indonesia sebagai negara pihak CAT.
Kelima, penghambatan ratifikasi Statuta Roma ICC, revisi ini justru melindungi pelaku pelanggaran HAM berat, bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma ICC sebagaimana dijanjikan dalam UPR 2017.
Keenam, kembalinya dwifungsi TNI ala Orde Baru, pasal-pasal yang melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil, seperti program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik, menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer yang menjadi ciri represif era Orde Baru.
Berdasarkan berbagai pelanggaran tersebut, koalisi menegaskan bahwa DPR dan pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmen HAM internasional. Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak reformasi sektor keamanan, tetapi juga berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara yang membangkang terhadap prinsip-prinsip HAM global.
“Koalisi Masyarakat Sipil dengan tegas menuntut, menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR. Lalu, membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf revisi dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, serta masyarakat sipil,” ujarnya.
Kemudian, mendesak Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memberikan tekanan kepada DPR agar menolak revisi UU TNI yang bermasalah.
Koalisi memperingatkan bahwa jika revisi ini tetap dipaksakan, Indonesia dapat menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil.
“Revisi UU TNI merupakan ancaman bagi demokrasi, hak asasi manusia, dan reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak 1998,” tutupnya.*
Laporan Novia Suhari