Dinilai Lebih Berorientasi Politik, Kapolri Didesak untuk Diganti

Diskusi Urgensi Reformasi Polri yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Jumat, 7/3/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Diskusi Urgensi Reformasi Polri yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Jumat, 7/3/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Sejumlah pengamat dan organisasi masyarakat sipil menyoroti kinerja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dinilai lebih berorientasi politik daripada sebagai aparat penegak hukum. Mereka berpendapat agar Kapolri segera dievaluasi.

Dalam diskusi bertajuk ‘Urgensi Reformasi  Polri’ yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum), Pengamat politik Ray Rangkuti menilai bahwa posisi Listyo Sigit masih bertahan bukan karena prestasi hukum yang menonjol, melainkan lebih karena faktor politik.

Bacaan Lainnya

“Saya sudah lama mendorong agar Kapolri segera dievaluasi oleh Prabowo. Tapi posisi Kapolri ini cukup kuat. Bahkan, dalam hubungan politik antara Jokowi dan Prabowo, ini bisa menjadi topik diskusi yang paling alot,” ujar Ray dalam diskusi, Jumat, 7/3/2025.

Menurutnya, proyek-proyek besar era Jokowi, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), tampak mandek. Namun, keberadaan Listyo sebagai Kapolri tetap dipertahankan, yang menunjukkan adanya kompromi politik di antara kedua pemimpin.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa Listyo Sigit lebih memiliki bakat politik dibandingkan sebagai aparat penegak hukum. Dirinya bahkan menyarankan agar Jokowi dan Listyo Sigit mendirikan partai politik baru agar bakat politiknya bisa lebih tersalurkan.

“Saya lihat, Listyo ini bakat politiknya jauh lebih kuat dibandingkan bakat aparat penegak hukumnya. Oleh karena itu, saya berharap Presiden segera membebaskannya dari tugas sebagai Kapolri agar bakat politiknya benar-benar tersalurkan,” tambahnya.

Ray juga menduga bahwa Prabowo mempertahankan Listyo Sigit sebagai Kapolri karena ingin mengikuti pola yang digunakan Jokowi, yakni memilih Kapolri yang lebih condong ke politik kekuasaan dibandingkan politik kebangsaan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, juga mengamini agar pemerintah mengevaluasi Kapolri Listyo Sigit. Ia menyebut bahwa dalam sebuah institusi, permasalahan yang sistemik harus dipertanggungjawabkan oleh pimpinannya.

“Ikan busuk dimulai dari kepalanya. Apakah perlu Kapolri diganti? Kepalanya siapa? Kapolri atau Presiden?” ujar Usman.

Menurutnya, jika permasalahan hanya sebatas di institusi kepolisian, maka Kapolri harus bertanggung jawab dan segera dievaluasi. Namun, jika masalahnya sudah meluas hingga ke tingkat eksekutif, maka Presiden juga harus dikoreksi.

Di sisi lain, dirinya juga mendesak DPR untuk menjalankan fungsi kontrolnya secara optimal dengan menggunakan hak angket atau bentuk penyelidikan lain terhadap Kapolri. Namun, hingga saat ini, DPR dinilai belum mengambil langkah konkret ke arah tersebut.

“Sayangnya DPR hingga hari ini belum mengarah ke sana. Bahkan, dalam kritik masyarakat dan mahasiswa terakhir kepada pemerintah dan kepolisian, Ketua Komisi III justru mengatakan ‘untung ada polisi,” ungkapnya.

Ironisnya, kata dia, pernyataan tersebut muncul hanya empat hari setelah kelompok band punk Sukatani menyampaikan permintaan maaf terkait kritik terhadap pemerintah dan kepolisian.

Usman menilai, sikap DPR menunjukkan kurangnya optimalisasi dalam menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan yang berakibat pada minimnya koreksi pada Korps Bhayangkara.

Oleh karena itu, Usman menegaskan bahwa DPR harus mengambil langkah korektif, tidak hanya terhadap Kapolri, tetapi juga terhadap Presiden, sebagai bagian dari tanggung jawab demokratis.

“DPR harus mengambil langkah-langkah korektif, termasuk kontrol yang optimal terhadap Presiden dan Kapolri. Karena dalam sebuah masyarakat demokratis, harus ada kontrol berlapis,” jelasnya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Mohammad Choirul Anam menilai bahwa evaluasi terhadap posisi Kapolri harus didasarkan pada kebutuhan publik dan kebutuhan institusi kepolisian, bukan kepentingan politik sesaat.

Menurutnya, pergantian Kapolri sebaiknya berjalan secara natural seperti sebelumnya, bukan karena desakan atau tekanan politik tertentu.

“Kalau pertanyaannya apakah perlu diganti atau tidak, menurut saya kita bisa ukur. Ukurannya tidak hanya berdasarkan kebutuhan publik, tetapi juga kebutuhan keorganisasian,” ujar pria yang akrab disapa Cak Anam.

Ia menjelaskan bahwa dalam melihat posisi Kapolri, harus ada kesadaran mengenai peran strategisnya dalam mengkonsolidasikan internal kepolisian dan memastikan posisinya dalam sistem kenegaraan.

Oleh karena itu, Anam menekankan bahwa evaluasi terhadap Kapolri seharusnya tidak dilakukan dalam skema politik. Ia menekankan, pergantian Kapolri sebaiknya tetap mengikuti pola yang sudah ada, tanpa adanya intervensi politik yang berlebihan.

“Menurut saya, biarkan itu diukur dengan sesuatu yang jauh dari skema politik,” tambahnya.

Menurutnya, dengan terlalu sering mengganti Kapolri bisa mengganggu konsolidasi internal di tubuh kepolisian. Padahal, ada banyak tugas mendesak yang harus segera diselesaikan oleh institusi tersebut.

“Pergantian itu selalu membawa dinamika konsolidasi internal, dan itu juga memakan waktu. Padahal, kita punya kepentingan yang harus segera dijawab,” pungkasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait