FORUM KEADILAN – Badan Gizi Nasional (BGN) pastikan bahwa biaya pengobatan untuk siswa keracunan makan bergizi gratis dapat ditanggung oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) terkait.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengungkapkan, pembiayaan tersebut berasal dari anggaran yang telah disiapkan di setiap satuan gizi. Sebab, menurutnya, biaya dalam bergizi terbagi dari biaya bahan baku dan biaya operasional.
“Biaya operasional di satuan pelayanan itu, sifatnya at cost untuk menanggulangi hal-hal yang seperti itu. Bukan diganti, nanti di-handle sama kepala satuan pelayanan,” kata Dadan di Lanud Halim Perdanakusuma Kusuma, Jakarta Timur, Jumat, 28/2/2025.
Dadan mengatakan, biaya yang digunakan akan bergantung dari kebutuhan siswa. Tetapi, dia mengatakan nilai at cost bervariasi sekitar Rp1.000 hingga Rp3.000 per porsi. Biaya ini juga dapat digunakan untuk menggaji sukarelawan.
“At cost tergantung kebutuhan mereka tapi range-nya antara Rp 1.000-3.000 per porsi tergantung kebutuhan,” tuturnya.
“Termasuk (dananya itu bisa digunakan bila) harus menggaji nanti sukarelawan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Dadan menyebut, kepala daerah juga dapat turut menyumbang anggaran untuk mendukung program makan bergizi gratis jika mempunyai kapasitas fiskal yang cukup. Tetapi, sifatnya tidak wajib, utamanya bagi daerah yang tidak mampu.
Menurutnya, terdapat sejumlah daerah yang telah menyiapkan biaya-biaya tersebut.
“Mereka juga sudah ada yang menyiapkan. Contohnya, Jawa Timur sudah menyiapkan Rp 700 miliar. Bojonegoro sudah menyiapkan Rp 99 miliar. Tapi, kami arahkan bukan untuk makan bergizinya, tapi untuk penyiapan infrastruktur, rantai pasok,” katanya.
Sebelumnya diketahui, Dadan mengatakan bahwa kasus keracunan dan masakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak matang, disebabkan oleh mitra yang kurang berpengalaman memasak dalam jumlah besar secara bersamaan.
Menurutnya, kasus-kasus tersebut hanya ditemukan pada mitra-mitra yang baru terlibat dalam program MBG.
“Rata-rata yang muncul di berita terakhir ini adalah semua satuan pelayanan yang baru melaksanakan. Yang baru-baru, yang lama-lama sudah tidak (ada masalah). Kenapa? Karena sudah terbiasa,” ujar Dadan di Magelang, Kamis, 27/2/2025.
Dadan menyebut, satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang baru beroperasi biasanya belum memiliki pengalaman memasak dalam jumlah yang besar, sehingga muncul makanan yang belum matang dan beracun.
Ia menekankan para mitra perlu mempunyai kebiasaan untuk dapat menjalankan program sebesar MBG, tidak cukup hanya memiliki pengetahuan.
“Karena untuk bisa memasak, yang biasa masak 1-10, untuk bisa masak 1.000-3.000, butuh waktu membiasakan sampai kematangannya cukup, sampai rasanya sama,” tandasnya.*