Kisruh Pagar Laut: Simbol Kekuasaan Atas Ruang Publik

FORUM KEADILAN – Perbincangan mengenai pagar laut yang ditemukan di wilayah Tangerang makin ramai di publik. Di tengah kehebohan itu, Pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Prof Nurhasan Ismail memiliki pandangan lain.
Nurhasan berpandangan, tanah perairan bisa dilekatkan alas hukum hak atas tanah. Ia mengacu pada pengertian tanah dalam Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Pada Pasal 1 ayat (4) UUPA menyatakan, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi yang di bawahnya serta yang berada di bawah air.
Ia menyebut, kisruh pagar laut sekarang ini hanya bentuk kelatahan. Padahal, hukumnya memang memungkinkan dikantonginya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dari Institute for Development of Policy and Local Partnerships (IDP-LP) Riko Noviantoro mengatakan, laut adalah milik bersama yang dikuasai negara. Sehingga, tidak boleh ada satupun kepemilikan lahan di atas laut.
“Prinsipnya, tetap tidak boleh ada pemilikan lahan diatas permukaan laut. Jika laut bisa disertifikatkan, maka ada yang membeli Selat Malaka atau Selat Sunda,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa, 28/1/2025.
Menurutnya, pendapat akademisi FH UGM itu membuat bias di tengah kisruh yang sedang terjadi. Ia mencontohkan pada masyarakat Suku Bajo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Suku Bajo merupakan masyarakat dengan budaya yang hidup di atas air menggunakan perahu. Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi semua masyarakatnya, maka dibuatkan tempat tinggal di pesisir laut.
“Itu salah satu perlindungan terhadap masyarakat adat. Memang ada sertifikat, namun dalam kasus pagar laut itu berbeda. Pagar laut yang terjadi di Tangerang itu tidak ada konteks perlindungan terhadap komunitas adat. Itu lebih pada kepentingan private, kepentingan pengusaha,” tegasnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ditegaskan bahwa pemberian hak pengusahaan atau konsesi agraria di perairan pesisir bagi para pengusaha adalah dilarang.
Terkait pagar laut itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid juga telah mencabut SHGB dan sertifikat hak milik (SHM) pagar laut tersebut, karena cacat prosedur dan material.
Area 266 sertifikat SHGB dan SHM yang berada di bawah laut itu, tidak bisa disertifikasi karena berada di luar garis pantai dan tidak boleh menjadi private property.
“Kalau cacat prosedur, cacat material, batal. Bukan sekedar mencabut, tapi BPN harus melibatkan semua aparat negara atau tim pendidik untuk memeriksa siapa aktor-aktornya,” ungkap Riko.
Kata Riko, antara memagari laut dengan reklamasi memiliki arti yang berbeda. Di mana, reklamasi merupakan pembuatan daratan di laut. Kegiatan itu dilakukan setelah peraturan presiden (perpres) diterbitkan.
Sedangkan, pagar laut ini bisa dipahami sebagai simbol kekuasaan terhadap ruang publik, memisahkan ruang yang seharusnya menjadi milik bersama (commons) menjadi ruang yang dikuasai.
“Framming-nya, pagar laut ini seolah reklamasi. Padahal, reklamasi kan dari darat nambah ke laut, ada prosesnya ada proses izinnya,” tambahnya.
Riko secara tegas menyebut, adanya kisruh pagar laut karena tidak transparannya pemerintah terhadap masyarakat. DPR sebagai wakil rakyat pun hanya seperti menunggangi kepentingan untuk segelintir kelompok.*
Laporan Merinda Faradianti