Selasa, 16 September 2025
Menu

MK Batalkan Presidential Threshold Pilpres 2029, Menko Yusril: Final dan Mengikat

Redaksi
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra | Ist
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

Diketahui, MK menyatakan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi.

“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat, 3/1/2025.

Yusril menekankan semua pihak termasuk pemerintah terikat dengan putusan MK tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah menyadari permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang  telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir dikabulkan.

Pemerintah, kata Yusril, melihat adanya perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu dibanding putusan-putusan sebelumnya.

“Namun, apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” ujarnya.

“MK berwenang menguji norma Undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambahnya.

Ia menyebut setelah ada tiga putusan MK nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil presiden, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029.

“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” katanya.

“Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” tandasnya.

MK Batalkan Presidential Threshold Pilpres 2029

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2029. Mahkamah berpendapat bahwa aturan ambang batas hanya menguntungkan partai-partai politik besar dan tidak didasarkan pada penghitungan yang rasional.

Hal itu diputuskan dalam sidang perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung MK, Kamis, 2/1/2025.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.

Menurut MK, penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Apalagi, penentuan persentase tersebut hanya menguntungkan partai politik besar.

“Penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” kata Saldi.

Di sisi lain, Mahkamah menilai bahwa mempertahankan ketentuan PT Presiden dan Wakil presiden cenderung mengarah pada dua pasangan calon dalam Pilpres.

Padahal, kata Saldi, hal tersebut dapat menyebabkan masyarakat terpolarisasi dan dapat mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” katanya.

Apalagi, kata dia, dalam Pilkada terbaru telah muncul gerakan yang mengarah pada calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” katanya.

Apalagi, kata dia, dalam Pilkada terbaru telah muncul gerakan yang mengarah pada calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” katanya.*