Dr Subiyanto Pudin
Doktor PDIH Unissula Semarang, Fungsionaris KSPSI, Anggota P3HKI
FORUM KEADILAN – Jaminan sosial yang inklusif adalah cita-cita besar demi menciptakan sistem perlindungan sosial bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali. Idealnya, jaminan sosial memberikan perlindungan seluruh masyarakat, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, gender, agama, atau demografi. Bahkan bisa memberikan perhatian khusus bagi kelompok rentan seperti disabilitas dan lanjut usia.
Selain inklusif, sistem ini juga harus adaptif—mampu merespons perubahan zaman serta tantangan-tantangan yang datang, seperti perubahan demografi, ekonomi, teknologi, hingga perubahan iklim.
Di Indonesia, upaya membangun sistem jaminan sosial yang inklusif dan adaptif ini diwadahi oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Â Oktober silam, SJSN tepat berusia dua dekade. Selama kurun itu, penerapan SJSN ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Setidaknya, ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi SJSN di Indonesia.
Tantangan pertama adalah populasi yang menua. Bonus demografi yang dialami Indonesia bisa berbalik menjadi beban di masa mendatang jika produktivitas menurun seiring bertambahnya usia penduduk, yang meningkatkan kebutuhan biaya jaminan sosial. Tantangan kedua adalah perubahan iklim yang semakin mengancam sektor pertanian dan perkebunan – ladang usaha banyak orang Indonesia. Tantangan ketiga adalah digitalisasi dan robotisasi yang memicu teknologi otomatisasi, sehingga mengurangi kesempatan kerja dan menurunkan pendapatan masyarakat.
Ketiga tantangan ini bisa menyebabkan disrupsi, perubahan cepat yang mengguncang stabilitas sosial dan ekonomi.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, SJSN harus memperkuat tiga pilar utama yang mendasarinya. Pertama, cakupan kepesertaan dan kualitas pelayanan yang menjamin masyarakat merasa terlindungi. Kedua, besaran iuran yang sebanding dengan manfaat yang diterima, agar peserta merasa adil dan tidak terbebani. Ketiga, upah dan pendapatan masyarakat yang dapat menopang biaya iuran jaminan sosial tanpa menurunkan daya beli mereka.
Ketiga pilar ini adalah landasan yang saling terkait. Jika salah satu tidak berjalan optimal, maka sistem jaminan sosial akan sulit mencapai inklusivitas. Masalahnya, penerapan ketiga pilar utama ini masih jauh dari harapan.
Hingga kini, cakupan jaminan sosial di Indonesia belum menjangkau semua kalangan. Masih banyak pekerja yang belum terlindungi dalam program jaminan sosial, khususnya jamsos ketenagakerjaan. Salah satu sebabnya adalah regulasi yang tumpang tindih, bahkan terkadang ambigu.
Bahkan ada pekerja penerima upah (PPU) yang tidak terlindungi jaminan sosial, termasuk pekerja pemerintah non-aparatur sipil negara (ASN), seperti pegawai honorer. Mereka tidak dilindungi jaminan sosial akibat disharmoni regulasi. Begitupun pekerja swasta yang bekerja di kantor perwakilan negara asing, advokat, notaris, hingga pekerja kreatif digital seperti YouTuber atau kreator konten. Mereka menghadapi ketidakpastian perlindungan karena belum ada regulasi yang mengatur keikutsertaan mereka secara khusus.
Apalagi pekerja bukan penerima upah (PBPU), seperti pemulung, petani, nelayan, serta pekerja di pelabuhan, terminal, atau bandara. Kelompok ini sering kali tidak terjangkau sistem jaminan sosial. Di sektor perkebunan dan pengolahan hasil laut, juga banyak pekerja perempuan luput dari perlindungan sosial karena keterbatasan akses dan tidak adanya lembaga pengorganisasi. Ketidakjelasan regulasi dan lemahnya penegakan hukum dalam perlindungan jaminan sosial menciptakan kesenjangan yang besar dalam cakupan perlindungan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus 2022, sekitar 59,31% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, atau setara dengan 80,24 juta orang. Sebanyak 40,69% lainnya (55,06 juta orang) berada di sektor formal yang relatif lebih mudah terdaftar dalam program jaminan sosial. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum inklusif, dan masih banyak warga yang tidak mendapatkan hak perlindungan sosial.
Ketidakjelasan regulasi juga menciptakan ketidakpastian hukum. Banyak pekerja yang telah membayar iuran jaminan sosial tidak mendapatkan perlindungan karena pemberi kerja tidak menyetorkan iuran mereka ke BPJS. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja, sementara sanksi bagi pemberi kerja hanya bersifat administratif. Padahal, secara etika hukum, pelanggaran ini terkategorikan pelanggaran berat. Selain itu, ketidakseragaman penegakan hukum di berbagai daerah membuat perlindungan pekerja menjadi tidak konsisten.
Dampak dari ketidakpastian hukum ini terlihat dari banyaknya kasus di mana pekerja mengalami risiko kerja namun tidak mendapat kompensasi karena status kepesertaan yang tidak jelas.
Kasus kebakaran pabrik kembang api PT Panca Buana Cahaya Sukses di Tangerang pada 2017 adalah contoh nyata kelemahan regulasi ini, di mana 50 dari 53 korban tidak tercakup dalam jaminan sosial.
Untuk mewujudkan sistem jaminan sosial yang inklusif dan adaptif, diperlukan komitmen kuat pemerintah dan semua pihak terkait untuk merevisi UU SJSN dan BPJS. Revisi ini penting untuk menghapus ambiguitas dalam regulasi, mengubah status hukum jaminan sosial menjadi hukum publik dengan kewajiban mutlak, serta meningkatkan penegakan hukum bagi pemberi kerja yang melanggar aturan. BPJS sebagai pelaksana program negara perlu memiliki wewenang memberikan perlindungan bagi pekerja yang mengalami risiko sosial, meskipun pekerja tersebut belum terdaftar atau iurannya belum dibayarkan.
Sistem jaminan sosial Indonesia berlandaskan prinsip gotong royong. Semakin banyak peserta yang tergabung, semakin besar akumulasi iuran yang terkumpul, sehingga beban dapat terbagi dengan merata. Prinsip gotong royong ini menciptakan solidaritas sosial di mana peserta yang lebih mampu dapat membantu peserta yang kurang mampu. Dengan demikian, sistem perlindungan sosial yang kuat dan berkelanjutan dapat terwujud, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan sosial.
Pembangunan sistem jaminan sosial yang inklusif dan adaptif adalah langkah krusial untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem yang adaptif akan lebih siap menghadapi tantangan-tantangan di masa depan, sementara inklusivitas memastikan bahwa tidak ada warga negara yang ditinggalkan. Dengan regulasi yang lebih jelas, penegakan hukum yang tegas, dan prinsip gotong royong, sistem jaminan sosial di Indonesia dapat menjadi pilar utama dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan sosial.
Saatnya para pemangku kepentingan menunjukkan komitmen nyata untuk menyelamatkan program jaminan sosial dengan melakukan revisi UU SJSN dan BPJS, yang mengatasi anomali dan ketidakpastian dalam implementasinya. Sistem jaminan sosial harus ditegakkan sebagai program negara yang berwibawa, di mana negara hadir untuk melindungi pekerja dari risiko sosial melalui BPJS sebagai pelaksana. Langkah ini merupakan implementasi dari sila kelima Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu rekomendasi penting adalah merealisasikan penerima bantuan iuran jaminan sosial tenaga kerja (PBI Jamsosnaker) sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Targetnya, hingga 2024, sekitar 20 juta pekerja miskin seperti pemulung, pekerja pengelolaan sampah, petani, pekebun, dan nelayan dapat terdaftar dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
Ke depan, 19 Oktober 2004, yang menjadi awal penerapan SJSN di Indonesia, dapat diperingati sebagai hari jaminan sosial nasional. Ini bukan sekadar peringatan, tetapi momentum untuk refleksi dan komitmen bersama menuju SJSN yang lebih baik dan inklusif. Selamat memperingati dua dekade implementasi SJSN.*