Jumat, 04 Juli 2025
Menu

Isu Gratifikasi Jadi Lelucon Keluarga Jokowi

Redaksi
Dari kiri ke kanan Pengamat Politik Ray Rangkuti, Host PHD 4K Poempida Hidayatulloh, Stand Up Komedian Iwel Sastra dalam Podcast Hanya di Sini (PHD) 4K Forum Keadilan bersama Poempida Hidayatulloh, Selasa, 8/10/2024 | YouTube Forum Keadilan TV
Dari kiri ke kanan Pengamat Politik Ray Rangkuti, Host PHD 4K Poempida Hidayatulloh, Stand Up Komedian Iwel Sastra dalam Podcast Hanya di Sini (PHD) 4K Forum Keadilan bersama Poempida Hidayatulloh, Selasa, 8/10/2024 | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menjadi sorotan hingga detik ini. Terlebih lagi, kasus jet pribadi Kaesang Pangarep masih belum menemukan titik terang. Hal ini dikarenakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum memberikan penjelasan lebih lanjut terkait perkembangan penelusuran jet pribadi Kaesang.

Pengamat Politik Ray Rangkuti kemudian memberikan pandangannya terkait manuver-manuver keluarga Jokowi yang begitu mengejutkan. Menurut Ray, transformasi yang terjadi di keluarga Jokowi begitu cepat dan tiba-tiba. Kesederhanaan yang selama ini diperlihatkan, menurut dia, saat ini sudah berubah 100 persen.

“Tiba-tiba wakil presiden, engga cukup wakil presiden lalu tiba-tiba pakai private jet. Ketua umum partai dalam 2 hari dan sebagai-sebagainya. Ini kan direkam oleh publik. Kok ini jadi aneh ya? Dulu kan mereka tanda kutip disukai oleh orang karena citra sederhana itu. Anaknya gak mau main politik, anak yang ini lah beda pilihan dengan bapaklah apa macam-macam. Terus ini 100 persen beda semua nih,” ujar Ray dalam Podcast Hanya di Sini (PHD) 4K Forum Keadilan bersama Poempida Hidayatulloh, Selasa, 8/10/2024.

Ray pun menilai bahwa Jokowi memiliki hasrat akan kekuasaan yang sangat besar, padahal apa yang terlihat selama ini begitu sederhana.

“Istilah saya, Pak Jokowi itu bajunya sederhana paling harga Rp200.000 Rp300.000. Celana juga begitu, sepatu juga begitu. Tapi itu baju, hasrat kekuasaanya gede banget,” tutur Ray.

Hal-hal ini akhirnya menjadi boomerang bagi keluarga Jokowi, karena apa yang dilihat oleh publik saat ini berbeda dengan citra mereka selama 9 tahun terakhir. Ia mengaku sulit memahami perubahan keluarga Jokowi yang terjadi begitu cepat.

“Itulah yang membuat kemudian orang bertanya-tanya, jangan-jangan yang selama ini citra aja gitu,” katanya.

Ray memandang, perubahan seharusnya terjadi sedikit demi sedikit diikuti dengan proses yang dilalui. Tetapi, perubahan keluarga Jokowi begitu mengejutkan. Akibat dari perubahan mengejutkan ini, akhirnya keluarga kepala negara tersebut diterpa isu penerimaan gratifikasi.

“Maka orang jadi bertanya, dari mana duitnya? Nah muncullah kasus dugaan ada penerimaan gratifikasi,” ujar Ray.

Jokowi dan anak-anaknya kemudian menjawab isu-isu yang menerpa mereka dengan lelucon. Padahal menurut Ray, persoalan seperti ini harus ditanggapi dengan serius. Ray menilai, lelucon yang mereka gunakan untuk menanggapi isu menunjukkan minimnya standar moral.

Ia kemudian mencontohkan seperti yang terjadi di negara-negara Eropa, di mana ketika para pejabat negara datang terlambat ketika rapat, mereka akan langsung mundur dari posisinya.

“Di negara-negara Eropa jangankan gratifikasi, telat 2-3 menit rapat aja dia mundur jadi anggota kabinet,” pungkasnya.

Ray membeberkan, sebenarnya bukan sistem politik yang menjadi permasalahan Indonesia saat ini, tetapi gratifikasi. Persoalan ini seharusnya dapat dituntaskan oleh keluarga Jokowi. Sebab sebagai keluarga kepala negara, mereka harus mampu memberi contoh. Namun kenyataannya, Jokowi dan anak-anaknya justru menjadikan permasalahan korupsi sebagai lelucon. Hal seperti ini justru menunjukkan ketidakmampuan Jokowi dalam menuntaskan gratifikasi.

“Alih-alih dijawab dengan apa namanya itu tuntas, yang ada adalah mereka meluconkannya. Gimana enggak tambah jengkel orang. Padahal isu yang sangat serius, di Korea Selatan, perdana menteri diseret ke Pengadilan. Padahal kasusnya sudah sangat lama kan, dan itu juga dilakukan oleh mantunya. Presiden Korea Selatan ya bukan perdana mentrinya,” tutur Ray.

Pandangan lain diberikan oleh Komika Iwel Sastra. Menurut dia, apa yang dilakukan keluarga Jokowi ini merupakan bentuk over confidence. Hal ini bisa terjadi karena jabatan, kedudukan, atau status sosial yang dimiliki. Hal-hal tersebutlah yang akhirnya membuat keluarga Jokowi tidak peduli dengan orang lain dan merasa dirinya paling benar.

“Apalagi ini kan juga Kaesang masih muda sebenernya. Ada egonya sebagai anak muda yang kemudian berusahana untuk ah hari era sekarang era medsos, sudahlah begini cara menyikapi. Seharusnya itu ada yang memberi tahu, iya kan?,” ungkap Iwel.

Iwel melanjutnya, seharusnya ada orang yang memberitahu Kaesang bagaimana cara berkomunikasi dengan benar. Sebab, salah satu kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando adalah seorang pakar komunikasi yang dekat dengan Kaesang.

“Padahal salah satu pakar komunikasi yang dekat dengan Kaesang itu adalah dosen saya tuh, namanya Dr Ade Armando. Itu dosen saya yang ngajar saya tuh,” beber Iwel.

Tetapi, Ray Rangkuti menilai bahwa Ade Armando tidak bisa memberitahu terkait hal tersebut lantaran ia adalah anak buah Kaesang di PSI. Perbedaan posisi antara keduanya membuat komunikasi yang terjalin pun akan berbeda, bukan seperti dosen kepada mahasiswa.

“Masalahnya anak buah di partai. Beda posisinya soalnya, kalau dosen ke mahasiswa, ini ke sini gimana,” kata Ray.

Menurut Iwel, seharusnya Kaesang bisa menggunakan kesempatan ini untuk menanggapi isu gratifikasi dengan cara yang lebih elegan. Ia bisa mengutarakan penyesalannya lewat permintaan maaf. Walaupun begitu, rasa penyesalan yang diungkapkan harus otentik, dengan menyebutkan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah kekhilafan.

“Rasa penyesalan itu juga harus otentik, menyebutkan karena saya enggak tahu saya khilaf dan sebagai-sebagainya mohon maaf dan seterusnya,” jelas Iwel.

Iwel menilai, permintaan maaf merupakan hal yang wajar dilakukan, bahkan justru dapat menambah simpati publik.

Ray pun berpendapat bahwa permintaan maaf seharusnya tidak perlu berkali-kali diungkapkan. Kaesang hanya perlu mewujudkan rasa penyesalannya itu dengan perilaku yang lebih baik. Sebab, ia sendiri sudah mengetahui apa yang menjadi kritik publik selama ini terhadapnya.

“Enggak perlu terlalu sering permintaam maaf itu diungkapkan, ditunjukin aja dengan prilaku yang berbeda, kan beliau tahu sendiri mana yang dijadikan kritik oleh publik,” ujar Ray.

Ray kemudian menyarankan, lebih baik Kaesang menyatakan diri berhenti sementara dari jabatan sebagai Ketua Umum PSI dan juga aktivitas-aktivitas politiknya untuk berkonsentrasi menjawab segala bentuk tuduhan terkait gratifikasi tersebut.

“Sudah sepatutnya yang bersangkutan mengatakan untuk sementara saya off dulu dari ketua partai, dari aktivitas politik. Saya akan konsentrasi untuk menjawab dugaan ini, tuduhan ini, bahwa saya ini dapat gratifikasi,” tuturnya.*