Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Sejarah Singkat Peristiwa Kelam G30S/PKI

Redaksi
Ilustrasi Memperingati G30S/PKI | Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ilustrasi Memperingati G30S/PKI | Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Hari G30S/PKI diperingati setiap tanggal 30 September sebagai peringatan peristiwa Gerakan 30 September 1965. G30S/PKI adalah singkatan dari Gerakan September Tiga Puluh Partai Komunis Indonesia.

Ini merupakan peristiwa gerakan pemberontakan yang terjadi pada 30 September 1965 dan didalangi oleh PKI. Peristiwa ini merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia yang mengakibatkan gugurnya tujuh perwira tinggi TNI sebagai pahlawan.

Untuk diketahui, pada masa itu, anggota PKI terdiri dari berbagai latar belakang, seperti intelektual, buruh, bahkan petani. Pada puncak kejayaannya, PKI sempat berhasil meraih suara terbanyak keempat dalam pemilihan umum (Pemilu), yakni 16,4 persen suara.

Peristiwa ini dimulai pada Kamis malam 30 September 1965. Gerakan ini diketuai oleh Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit sebagai ketua PKI. Tujuannya adalah untuk melakukan pemberontakan dan menggulingkan pemerintahan Soekarno, serta mengganti Negara Indonesia menjadi Negara Komunis.

Pecahnya peristiwa ini dilatarbelakangi oleh persaingan politik antara PKI dan TNI. Peristiwa ini juga dipicu oleh kekhawatiran atas kesehatan Presiden Soekarno yang semakin menurun pada 1965. Sebagai kekuatan politik yang besar pada saat itu, PKI merasa terancam oleh potensi dominasi TNI dalam proses pergantian kepemimpinan.

Ketegangan antara PKI dan TNI pun semakin meningkat karena tidak adanya kejelasan terkait transisi kekuatan di masa depan. Puncaknya, terjadilah peristiwa G30S/PKI ini.

Peristiwa ini berpusat pada penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal TNI Angkatan Darat (AD) oleh pasukan Resimen Cakrabirawa. Pasukan yang bertugas untuk menjaga Presiden Soekarno ini dipimpin oleh Letkol Untung Syamsuri yang merupakan Komandan Batalyon I Cakrabirawa dan Lettu Dul Arief sebagai pelaksana.

Peristiwa ini berawal pada 30 September 1965, di mana Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief sebagai ketua pelaksana penculikan para jenderal dan perwira tinggi militer. Kemudian pada pukul 03.00 WIB, pasukan Cakrabirawa beserta para anggota PKI bergerak dari Halim Perdanakusuma. Pasukan tersebut pun menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi militer yakni, Letjen Anumerta Ahmad Yani, Mayjen Raden Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Brigjen DI Panjaitan, Mayjen S. Parman, Brigjen Sutoyo dan Kapten Tendean yang dikira oleh mereka adalah Jenderal AH Nasution yang ternyata telah berhasil kabur. Dia pergi melewati dinding yang berbatasan dengan taman di Kedutaan Besar Irak.

Pasukan Cakrabirawa kemudian langsung memasukkan tujuh jenazah tersebut ke dalam sumur di Lubang Buaya yang berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter.

Selain tujuh perwira yang menjadi korban, salah seorang anak juga menjadi korban pembunuhan tersebut. Ia adalah putri bungsu dari Jenderal AH Nasution yang bernama Ade Irma Suryani.

Usai melakukan penculikan dan pembunuhan, PKI menuju gedung Radio Republik Indonesia (RRI) dan menguasainya. Mereka pun mengumumkan Dekrit Nomor 01. Isinya adalah menyatakan G30S sebagai upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal yang ingin mengambil alih kekuasaan.

Setelah melakukan pencarian, pada 3 Oktober 1965, ketujuh perwira tinggi militer yang diculik dan dibunuh tersebut akhirnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kemudian pada 22 November 1965, DN Aidit ditangkap di Desa Sambeng, Solo dan langsung dieksekusi mati pada 23 November 1965.

Kejadian ini kemudian menjadi momentum bagi tindakan balasan yang melibatkan pembantaian massal terhadap anggota PKI dan simpatisannya di seluruh Indonesia.

Reaksi terhadap peristiwa ini mengakibatkan perubahan besar dalam struktur politik Indonesia, dengan terjadinya peralihan kekuasan dari Soekarno kepada Jenderal Soeharto, yang kemudian menjadi presiden Indonesia dan memulai era Orde Baru.

Pemerintah Orde Baru menggencarkan propaganda anti-komunis dan mengubah narasi sejarah seputar G30S/PKI, yang berimbas pada perubahan besar dalam politik dan masyarakat Indonesia.

Presiden Soekarno menyebut peristiwa ini dengan istilah GESTOK (Gerakan Satu Oktober), sementara presiden Soeharto menyebutnya dengan istilah GESTAPU (Gearakan September Tiga Puluh). Kemudian pada Orde baru, Presiden Soeharto mengubah sebutannya menjadi G30S/PKI (Gerakan 30 september PKI).

Terjadinya peristiwa G30S/PKI pada tanggal 30 September ini mengingatkan generasi penerus agar dapat memahami bahwa manusia terbentuk dari macam-macam idealis. Walaupun begitu, kesepakatan para leluhur dalam berbangsa dan bernegara jangan sampai dilupakan. Para penerus bangsa harus dapat melakukan butir-butir Pancasila yang bertujuan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.*

Laporan Pangesti Handayani