MK Tegaskan Penegak Hukum Harus Terima Laporan Penculikan Anak oleh Orang Tua Kandung

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan kelima ibu yang anaknya diduga menjadi korban penculikan oleh ayah kandungnya. Meski begitu, Mahkamah menegaskan agar aparat penegak hukum, terutama Kepolisian, harus menerima laporan penculikan anak yang dilakukan oleh orang tua kandung.
Dalam perkara tersebut, para Pemohon menguji Pasal 330 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke MK. Pasal tersebut mengatur ketentuan soal “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut Undang-Undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun“.
Dalam petitumnya, mereka meminta agar MK menyatakan frasa “barang siapa” dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai menjadi “setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak“.
Para Pemohon yang terdiri dari lima perempuan, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani merupakan korban, di mana anaknya direnggut paksa oleh mantan suaminya. Selain itu, laporan mereka ke pihak kepolisian selalu ditolak dengan alasan yang menculik adalah ayah kandungnya, sehingga tidak terdapat unsur pidana.
“Seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak baik ayah atau ibu,” tegas Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 26/9/2024.
Meskipun permohonan para Pemohon ditolak oleh MK, namun MK dalam pertimbangannya menegaskan bahwa perbuatan orang tua kandung anak bukan pemegang hak asuh anak yang melakukan pengambilan paksa dan menguasai anak dapat dianggap merupakan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana.
Oleh karena itu, apabila pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan dilakukan tanpa sepengetahuan pemegang hak asuh, terutama dilakukan dengan paksaan dan ancaman, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP.
“Sehingga, meskipun yang mengambil anak adalah orang tua kandung, jika dilakukan secara paksa tanpa hak/izin maka tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP,” ucapnya.
Alasan Mahkamah tidak mengabulkan petitum para Pemohon ialah bahwa frasa “barang siapa” dalam ketentuan Pasal yang diuji bersifat umum dan tidak memberikan batasan terhadap orang sebagai subjek hukum. Selain itu, rumusan Pasal 330 ayat (1) KUHP telah diperbaiki dan disesuaikan dengan kaidah perumusan melalui penggunaan frasa “setiap orang” sebagaimana tertuang dalam Pasal 452 ayat (1) UU KUHP.
Oleh sebab itu, kata Arief, penggunaan frasa tersebut sama dengan pasal-pasal lainnya dalam UU KUHP yang mengandung makna “setiap orang” tanpa memaknai kualitas atau kualifikasi tertentu.
“Dengan demikian, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP, frasa ‘barang siapa’ dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna ‘setiap orang’,” katanya.
Oleh karena itu, apabila MK mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal yang diujikan, maka hal tersebut justru akan memosisikan norma a quo menjadi berbeda sendiri (anomali) di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa “barang siapa” yang sesungguhnya bermakna “setiap orang” atau “siapa saja”, tanpa perlu memaknai dengan kualitas tertentu.
Pidana Jadi Jalan Terakhir
Mahkamah berpandangan bahwa dalam kasus perceraian yang terdapat perselisihan hak asuh anak, maka yang harus diperhatikan, yakni kepentingan terbaik bagi anak sebagai pihak yang paling rentan akibat adanya perceraian, sehingga harus mendapatkan perlindungan.
Padahal, salah satu prinsip dalam perlindungan anak selain prinsip non-diskriminasi, prinsip kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak, adalah prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. Prinsip tersebut menjelaskan bahwa dalam setiap tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak harus lah menjadi pertimbangan utama.
“Dengan demikian, kepentingan terbaik bagi anak dapat dimaknai sebagai prinsip yang mendasari dilakukannya perlindungan anak, sehingga perlindungan anak tersebut harus lah dilaksanakan demi memenuhi kepentingan terbaik bagi anak,” lanjut Arief.
Selain itu, dalam kasus penculikan anak kandung oleh orang tua kandung, selain anak yang menjadi korban, Mahkamah berpendapat bahwa orang tua yang dipisahkan secara paksa dari anaknya oleh orang tua yang satunya, juga dapat menjadi korban terutama secara psikis.
Untuk itu, perbuatan pelaku dapat dikenai tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pasal tersebut menyatakan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)“.
Oleh karena itu, kata Arief, berkenaan dengan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penguasaan anak secara paksa sekalipun belum terjadi perceraian, telah tersedia mekanisme hukum yang cukup memadai tidak hanya dalam rangka melindungi anak, akan tetapi juga orang tua.
Artinya, terdapat hubungan baik psikis maupun psikologis antara orang tua dan anak kandung yang seharusnya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya
“Sehingga jikalau hal demikian menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, maka kepentingan anak yang paling diutamakan dan pilihan untuk memidanakan salah satu orang tua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Terlebih, dalam paradigma penyelesaian tindak pidana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,” tegas Arief.
Tidak akan Berhenti Berjuang
Ditemui usai persidangan, salah satu Pemohon, Angelia Susanto, mengaku kecewa karena Mahkamah tidak mengabulkan petitum yang mereka ajukan. Angelia yang kehilangan anak kandungnya selama 5 tahun mengaku akan terus memperjuangkan anaknya dari mantan suaminya.
“Kami enggak akan berhenti, kami enggak akan menyerah. Saya akan terus berjuang, Saya sudah mencari anak saya lima tahun dan saya enggak akan berhenti mencari anak saya sampai ketemu,” katanya.
Namun, Angelia merasa bersyukur atas adanya satu hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda dan meminta agar permohonan tersebut dikabulkan untuk sebagian.
Sebagai informasi, Hakim konstitusi M. Guntur Hamzah merupakan satu-satunya hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurut Guntur, dalam kasus perebutan hak asuh anak, akan berujung pada pengambilan paksa seorang anak dari ibu kandungnya.
“Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan Pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang terpaksa harus berpisah dengan buah hatinya yang masih di bawah umur,” isak Guntur saat membaca dissenting opinion.
Angelia menyebut bahwa dirinya akan kembali melaporkan kasus penculikan terhadap anaknya kepada aparat penegak hukum dengan membawa poin pertimbangan dari MK. Menurutnya, pihak kepolisian tidak bisa berdalih atas tidak adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.
Angelia berharap dengan adanya pertimbangan tegas dari Mahkamah, aparat penegak hukum dapat menerima laporan kasus penculikan terhadap anaknya yang telah 5 tahun dibawa oleh mantan suaminya.
“Kalau ternyata tidak, saya tidak tahu mungkin saya kembali lagi ke MK dan saya akan bilang ‘Pak maaf, ternyata tidak diterima juga’. Apalagi yang bisa saya lakukan?” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi