Kamis, 13 November 2025
Menu

Guru Besar UIN Kecam Intoleransi di Bekasi: Pancasila Jangan Hanya Hiasan Dinding

Redaksi
Viral di media sosial sebuah video yang menunjukkan seorang ibu bernama Masriwati memarahi sekelompok umat Kristen yang sedang berdoa di Perumnas 2, Kelurahan Kayuringin, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Viral di media sosial sebuah video yang menunjukkan seorang ibu bernama Masriwati memarahi sekelompok umat Kristen yang sedang berdoa di Perumnas 2, Kelurahan Kayuringin, Kota Bekasi, Jawa Barat | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Media Zainul Bahri menyesalkan tindakan intoleran yang dilakukan oleh seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bekasi, Jawa Barat, terhadap tetangganya yang beragama non-Muslim.

Menurut Media, kasus seperti ini sering terjadi dan mencerminkan adanya kelompok yang berpandangan keagamaan keras di kalangan ASN.

Media mengutip pernyataan Gus Dur bahwa sebagian umat beragama di Indonesia belum mampu menunjukkan kebersamaan dengan pemeluk agama lain.

“Dengan berulang-ulang kasus begini, apalagi dilakukan oleh ASN yang bekerja untuk negara, umat Islam Indonesia, mengutip almarhum Gus Dur, belum bisa menumpahkan kebersamaannya dengan pemeluk agama lain yang berbeda,” kata dia kepada Forum Keadilan, Rabu, 25/9/2024.

Menurut Media, masih ada sebagian Muslim yang memandang non-Muslim sebagai musuh, bukan saudara sebangsa.

Media juga mengkritik kelompok radikal yang sering mengangkat falsafah Pancasila, namun tidak mengamalkan nilai-nilainya.

“Falsafah Bhinneka Tunggal Ika tinggal falsafah yang ditempel di tembok, orang maunya ‘Ika’ nya saja, nggak mau menerima kenyataan ‘Bhinneka’ nya,” kata dia.

Menurut Media, kasus intoleransi di Bekasi yang melarang warga beribadah sesuai agamanya merupakan masalah pola pikir dan pemahaman teologis, bukan hanya masalah hukum.

“Ini soal pola pikir orang beragama ya, struktur berpikir sebagian umat beragama itu landasannya sudah sangat teologis, yang kemudian berpengaruh pada praktik sosial kita. Ini bukan soal hukum ya,” ucapnya.

Media menegaskan, penyelesaian masalah intoleransi harus dimulai dari pemahaman agama yang inklusif. Jika tidak, kejadian serupa akan terus berulang.

“Percuma lah ngomong hukum dan kebebasan beragama, ini soal struktur asasi pengetahuan kita, kalo struktur pengetahuan sebagian umat beragama itu basisnya adalah teologi eksklusif, akan terus terulang lagi kasus-kasus pengkotakan kehidupan sosial kita, cara pandang model begini akan terus muncul,” tegasnya.

Media juga menyatakan bahwa pola pikir konservatif yang menolak pluralisme semakin marak dalam 20 tahun terakhir, dan tidak bisa diselesaikan hanya oleh negara.

“Model-model corak berpikir ‘conservative turn’ nggak akan bisa diselesaikan oleh negara yang normatif tapi harus oleh civil society sendiri, kita bukan negara agama, punya ideologi pancasila, punya falsafah Bhinneka Tunggal Ika dan masyarakat yang majemuk,” katanya.

Media menekankan pentingnya pendidikan tentang Pancasila, sikap toleransi, dan pemahaman agama yang inklusif sebagai langkah awal membangun modal sosial yang kuat.

“Modal-modal seperti itu bisa terus jadi modal sosial budaya untuk menyadarkan kita bahwa kita satu bangsa, saudara sebangsa dan konsep kafir nggak relevan untuk negeri Indonesia yang kuat dalam persaudaraan, gotong royong, guyub, rukun meskipun kita berbeda,” pungkasnya.*

Laporan Reynaldi Adi Surya