Selasa, 08 Juli 2025
Menu

UU Pilkada untuk Demokrasi Sehat

Redaksi
Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam Podcast Hanya Disini (PHD 4K) Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, pada Senin, 9/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam Podcast Hanya Disini (PHD 4K) Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, pada Senin, 9/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Presiden Partai Buruh Said Iqbal menjelaskan bagaimana proses perjuangan mendorong agar tidak terjadi revisi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang (UU) Pilkada 2024 yang mengatur syarat pencalonan kepala daerah.

Hal ini diungkapkan oleh Iqbal dalam Podcast Hanya Disini (PHD 4K) Forum Keadilan, bahwa hal ini telah diajukannya sejak 20 Mei 2024 yang lalu.

“Jadi ini sebenarnya kita ajukan tanggal 20 Mei 2024 yang lalu, beberapa bulan yang lalu, emang banyak yang tak tahu karena dasar kita kegelisahan aja,” ungkap Said Iqbal dalam Podcast Hanya Disini (PHD 4K) Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, pada Senin, 9/9/2024.

Ia mengaku percaya bahwa dengan Indonesia yang merupakan negara pancasila harusnya mempunyai demokrasi yang sehat, karena hal tersebut akan memberikan dampak pada kesejahteraan kepada masyarakat.

“Karena kita percaya, demokrasi yang sehat pasti akan berimplikasi pada kesejahteraan, welfare state ya kan, kita kan menganut sistem itu, negara kita, negara Pancasila menganut sistem welfare state dan negara-negara Skandinavia, Eropa Barat dan beberapa-beberapa negara di Amerika Latin juga menganut sistem itu, khususnya di Indonesia kan ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu kami yang ada di Partai Buruh, tidak hanya buruh kan, ada Serikat Petani ada teman-teman aliansi nelayan, ada guru dan tenaga honorer kita berkeyakinan menuju kepada kesejahteraan itu demokrasinya harus sehat,”jelasnya.

Demokrasi yang sehat menurutnya adalah bahwa semua orang boleh memilih dan dipilih dan bukanlah sebaliknya.

“Demokrasi yang sehat, kita percaya kan paling tertinggi itu boleh memilih dan dipilih, enggak boleh ada satu warga negara pun dalam sistem demokrasi enggak bisa memilih, enggak boleh, begitu pula sebaliknya, tidak boleh ada orang baik kemudian tidak bisa dipilih, hanya karena demokrasi itu istilah kita dibajak,” tuturnya.

Saiq menyebut bahwa dasar pemikiran gugatannya terhadap UU Pilkada sederhana walaupun pada awal gugatannya mengenai parlementary threshold dinilai gagal.

“Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Pemilu yang terkait dengan parlementary threshold, presidensial threshold dan beberapa aturan-aturan lainnya termasuk orang hanya boleh memilih Pilpres, tidak memilih Pilpres DPR dan DPRD, ketika dia tidak di tempat sesuai alamat KTP itu kan menghilangkan hak suara mereka, oleh karena itu kita gugat dulu pertama waktu itu kan parlementary treshold gagal, nah baru Pilkada, dasar pemikirannya sederhana,” lanjutnya.

Said menegaskan bahwa gugatan yang diajukannya jauh sebelum adanya kasus Anies Baswedan. Sebagai peserta Pemilu Partai Politik ia merasa tak bisa memilih di daerah dan calon kepala daerah walaupun telah memikirkan proses verifikasi admintrasi hingga terbentuknya konsolidasi.

“Waktu itu belum ada kasus Anies, belum, kita hanya berpikir sederhana, kok kita peserta Pemilu Partai politik, kemudian kita sudah mikirin proses verifikasi administrasi, verifikasi faktual, konsolidasi terbentuk, kok enggak bisa memilih di daerah, enggak bisa memilih calon kepala daerah,” katanya.

UU Pilkada terkait syarat pencalonan kepala daerah Partai politik dan Partai politik 20% dari total kursi yang ada atau 25% total suara dinilai terlalu berat.

“Pada sisi yang lain, Undang-Undang memberi ruang calon perseorangan boleh dengan syarat yang lebih mudah, dibandingkan syarat ketika 20% dari total kursi yang ada atau 25% dari total suara, kan itu berat dibandingkan hanya sekian persen daripada perseorangan,” ucapnya.

“Beranjak dari itu demokrasi adalah tentang memilih dan dipilih, maka kita majukan, permintaannya sebenarnya sederhana yaitu Partai-partai non seat atau non parlemen yang tidak punya kursi di parlemen di tiap-tiap daerah provinsi maupun Kabupaten kota, boleh dong mengajukan calon kepala daerah, jangan sampai karena pembatasan 20% jumlah kursi, 25% jumlah total suara tidak bisa untuk memajukan calon,” sambungnya.

Dengan dasar inilah, Partai Buruh maju judicial review untuk mendorong UU Pilkada 2024.

“Berarti kan dibajak oleh kekuatan yang merasa paling besar karena ada kursi itu ya atau suara 25% itu tadi, dengan dasar itu kita maju judicial review,” katanya.

“Memang harus diakui keputusan Mahkamah Konstitusi harus kita apreasiasi berani, mungkin karena terlalu sering dengan kasus-kasus lain,” ungkapnya.

Kronologi DPR Batal Anulir UU Pilkada 2024

Diketahui sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menolak putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah nomor 60/PUU-XXI/2024 sebelumnya yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk Partai politik.

Gugatan tersebut diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora dan dibacakan dalam sidanng di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 20/8/2024.

Melalui putusan MK ini, Partai politik ataupun Partai politik gabungan yang tak mendapatkan kursi di DPRD tetap dapat mencalonkan calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (wagub) selama memenuhi perolehan suara yang disyaratkan oleh MK.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.

Berikut isi Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu ialah:

Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

MK menilai bahwa esensi Pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya. MK pun mengatakan pembentuk UU justru memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam Pasal UU Pilkada.

“Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” ucap hakim MK Enny Nurbaningsih.

Lalu di hari yang sama, MK membacakan juga putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta agar MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah seperti sebelum adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024.

Putusan MA yang dikeluarkan pada 29 Mei 2024 tersebut mengubah syarat usia calon kepala daerah menjadi berlaku saat pelantikan calon terpilih, berbeda dari sebelumnya yang menetapkan syarat usia saat penetapan calon oleh KPU.

Hingga tidak menunggu lama, DPR langsung menggelar rapat sehari setelah putusan MK terkait UU Pilkada. DPR mengubah dan menambahkan syarat dari putusan MK.

Rapat Baleg ini digelar pada Rabu, 21/8/2024 dalam menyepakati mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap PKPU yang mengatur syarat usia dihitung ketika pelantikan calon terpilih.

Rapat tersebut menyetujui perhitungan syarat usia mengikuti putusan MA terhadap PKPU dan hal ini putuskan setelah mayoritas fraksi di DPR menyetujui kecuali fraksi PDI Perjuangan.

Manuver DPR RI melalui Baleg yang berupaya untuk menganulir putusan MK tersebut menuai protes dari masyarakat dari berbagai elemen.

Protes ini pun memunculkan tagar #KawalPutusanMK dan unggahan foto peringatan darurat berwarna biru.

Tidak hanya sampai disitu, masyarakat berlanjut melakukan aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Revisi UU Pilkada di berbagai daerah pada Kamis, 22/8.

Aksi ini berpusat di Gedung DPR RI dan Gedung MK dan unjuk rasa ini berlangsung di daerah lainnya seperti Yogyakarta nmelalui Gejayan Memanggil, Sumatra Barat (Sumbar) melalui aksi di depan Gedung DPRD Sumbar, hingga aksi di depan Gedung DPRD Jabar oleh warga Jabar.

Namun, pada rapat paripurna tidak memenuhi syarat kuota forum dari total jumlah 556 anggota DPR, hanya 89 yang hadir.

DPR akhirnya membatalkan pengesahan dan menyatakan patuh pada putusan MK terkait syarat pencalonan Pilkada.*