Gerilya DPR Evaluasi MK Ancam Kekuasaan Kehakiman

FORUM KEADILAN – Sejumlah pakar hukum tata negara mengkritisi wacana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berupaya untuk mengevaluasi Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menanggap hal tersebut merupakan bentuk ancaman yang akan melemahkan MK
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai, wacana evaluasi MK kembali bergulir ketika MK memutus dua perkara terkait pemilihan kepala daerah.
Adapun dua putusan yang dimaksud ialah putusan MK Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan dan batas usia minimal kepala daerah.
“Itu jelas bentuk serangan balik DPR untuk MK pasca dua putusan kemarin. Akan ada upaya melemahkan kewenangan MK melalui revisi UU MK,” kata Herdiansyah saat dihubungi, Sabtu, 31/8/24.
Selain itu, ia mengatakan bahwa lembaga pembentuk undang-undang akan berupaya mengebiri kewenangan MK melalui revisi UU Mahkamah Konstitusi yang pernah diwacanakan beberapa bulan sebelumnya.
Saat itu, Komisi III DPR RI melakukan rapat dadakan di akhir masa reses bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto. Mereka kembali melanjutkan pembahasan keempat revisi UU MK, mereka sepakat bahwa RUU ini akan segera diundangkan pada masa sidang paripurna yang akan datang.
Dalam kesepakatannya, terdapat tiga pasal yang direvisi yaitu pasal 1, 23 dan 87.
Selain itu, ada pula penambahan pasal 23A dan 27A yang mengatur soal masa jabatan hakim, pemberhentian hakim konstitusi, persetujuan dari lembaga pengusul untuk hakim yang telah 5 tahun menjabat, serta penambahan komposisi hakim Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Namun, DPR batal mengesahkan revisi UU MK di rapat paripurna karena adanya penolakan yang sangat masif dari masyarakat.
“Itu kan proyek lama mereka. Sempat dituangkan dalam revisi UU MK sebelumnya yang batal. DPR akan melalukan segala cara agar MK bisa dikooptasi oleh DPR,” katanya.
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti juga sependapat bahwa evaluasi MK merupakan bentuk ancaman dari Senayan. Apalagi, kata dia, upaya DPR dalam melemahkan MK dimulai ketika Guntur Hamzah menggantikan Aswanto yang dicopot karena dianggap terlalu sering menganulir UU yang disahkan DPR.
“Jadi narasinya keliatan, supaya MK lebih disiplin atau lebih nurut kepada DPR. Kalau enggak mereka (hakim konstitusi) bisa dievaluasi,” kata Bivitri saat dihubungi, Sabtu, 31/8.
Bivitri menegaskan, bahwa secara prinsip tidak boleh ada bentuk evaluasi hakim konstitusi tatkala ia sedang menjabat karena hal tersebut akan menimbulkan ancaman bagi independensi hakim saat memutus sebuah perkara. Ia juga setuju apabila hakim harus mendapat pengawasan, namun melalui MKMK.
“Salah satu kunci untuk menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman adalah untuk membuat hakim terbebas dari ancaman ia akan diberhentikan di tengah masa jabatannya,” katanya.
Menurutnya, memberikan kepastian masa jabatan merupakan salah satu kunci untuk kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Oleh karena itu, kata dia, negara harus memastikan ketentuan usia pensiun bagi hakim konstitusi secara pasti.
Ia mencontohkan seperti di Amerika Serikat di mana hakim konstitusi menjabat seumur hidup. Atau mengikuti model usia pensiun, di mana aturan tersebut harus bisa memberikan kepastian masa jabatan bagi hakim yang menjabat.
Ia menegaskan kembali bahwa evaluasi terhadap hakim MK menjadi bentuk nyata dari ancaman terhadap kekuasaan kehakiman. Karena menurutnya, apabila hal tersebut terjadi, bukan hanya DPR yang bisa memberikan evaluasi, namun juga Pemerintah dan juga Mahkamah Agung (MA) yang masing-masing lembaga mengusulkan 3 hakim konstitusi.
“Jadi ini jelas langkah untuk mendisiplinkan hakim-hakim MK supaya tidak terlalu melawan keinginan tiga lembaga yang memilih mereka yaitu DPR, Presiden dan MA,” jelasnya.
Untuk diketahui, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa DPR akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.
“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK,” kata Doli dalam keterangan, Kamis, 29/8.
Ia mencontohkan terkait adanya perubahan saat pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.
“Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” tutupnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi