Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Demo Begal Konstitusi, KIM Balik Badan Dari Jokowi

Redaksi
Pengamat Politik Universitas Nasional (UN) Selamat Ginting, dalam Podcast Dialektika Madilog di Forum Keadilan, Selasa, 27/8/2024 | YouTube Forum Keadilan TV
Pengamat Politik Universitas Nasional (UN) Selamat Ginting, dalam Podcast Dialektika Madilog di Forum Keadilan, Selasa, 27/8/2024 | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Demo kawal putusan MK dan tolak RUU Pilkada yang terjadi di beberapa daerah dari Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Bandung hingga Semarang membuat situasi Indonesia semakin panas karena DPR dianggap mengabaikan putusan MK dalam syarat pencalonan kepala daerah.

Dalam RUU Pilkada tersebut, DPR tidak sepenuhnya mengakomodasi putusan MK, terlebih soal syarat ambang batas pencalonan partai politik yang memiliki kursi di parlemen.

Justru, RUU Pilkada yang ditetapkan oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI itu menganulir putusan MK nomor 60 dan mengembalikan pada peraturan lama bahwa syarat pengusungan calon oleh partai parlemen tetap 20 persen atau memiliki sebanyak 22 kursi.

Namun bagi partai non parlemen, Baleg DPR tetap merujuk kepada putusan MK nomor 60 yang membolehkan untuk mengusung pasangan calon selama memenuhi persyaratan pendapatan suara sah setidaknya 7,5 persen yang dihitung berdasarkan jumlah pemilih tetap di masing-masing daerah.

Diketahui, delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju atas pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi tersebut meliputi Gerindra, Demokrat, Golkar, PKS, NasDem, PAN, PKB, dan PPP. Namun, PDI Perjuangan menjadi fraksi yang menyatakan penolakan terhadap pembahasan RUU Pilkada

Tetapi, pada 22 Agustus 2024 Wakil Ketua DPR RI Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa RUU Pilkada dan dirinya pun memastikan bahwa rapat konsultasi KPU dengan DPR tak ubah keputusan MK.

Ketua Harian Gerindra ini menekankan pemerintah siap berkomitmen untuk mentaati putusan MK.

Pengamat Politik Universitas Nasional (UN) Selamat Ginting dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan menilai bahwa apa yang saat ini terjadi pada saat Baleg DPR yang mengamputasi keputusan MK hingga terjadi nya aksi penolakan massa, menimbulkan suatu potensi Partai politik termasuk Koalisi Indonesia Maju balik badan dari Presiden Joko Widodo.

“Bung pada saat 98, era orde baru itu memang kita cuma kita punya tiga partai politik dan ditambah dengan fraksi-fraksi termasuk fraksi ABRI utusan golongan lain-lain, sekarang di DPR itu jelaskan bahwa akhirnya mereka balik badan semua, padahal waktu itu yang ingin hadir, yang ingin kemudian menggolkan Undang-Undang itu artinya mengamputasi, mentorpedo keputusan MK itu hampir semua Partai politik kecuali PDI Perjuangan,” kata Selamat Ginting dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan, pada Selasa, 27/8/2024.

“Tapi begitu dukungan massa luar biasa, maka semua balik badan artinya berpotensi semua Partai Politik balik badan untuk melawan yang disuarakan oleh teman-teman mahasiswa, itu jalannya, jalan konstitusi, tahapannya seperti itu” lanjutnya.

Sosok Sufmi Dasco pun menjadi sorotan dalam peristiwa demo kemarin. Menurutnya, publik sudah dapat membaca bahwa Dasco lah merupakan aktor utama yang mengamputasi putusan MK.

Peristiwa Demo kawal putusan mk itu juga seakan-akan memberikan dejavu dari peristiwa 1998 dan peristiwa 27 Juli 1996 memperlihatkan PDI Perjuangan menjadi partai yang juga dizalimi.

“Kita bisa lihat indikasinya bahwa semua ini dirancang, publik sudah membaca bahwa yang menjadi tokoh utama, aktor utama di dalam rapat untuk mengamputasi itu kan adalah Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra, tapi keesokan harinya juga Sufmi Dasco Ahmad juga membatalkan , artinya ada tekanan-tekanan yang luar biasa dan bagaimana kita lihat simpul-simpul atau sel-sel unjuk rasa, sel-sel masa yang muncul di peristiwa 98, muncul kembali bung dan itu misalnya bagaimana PDIP pada saat peristiwa dari 27 Juli 1996 itu menjadi Partai yang dizalimi dan sekarang juga dia menjadi Partai yang lagi-lagi dizalimi, bertemu dengan sejumlah tokoh-tokoh elite-elite di daerah yang menjadi calon pemimpin nasional tapi dihambat, ini juga kan menjadi masalah,” jelasnya.

Putusan MK yang mengabulkan permohonan nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat pencalonan calon kepala daerah menjadi bukti niat MK memperbaiki kesalahan yang dibuat pada tahun lalu yakni Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka untuk dapat maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto hingga mengakibatkan marwah MK jatuh dan eks Ketua MK Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran dicopot dari jabatannya karena terbukti melanggar pelanggaran etik.

“Bagaimana potensi-potensi orang di babat, kita tahu sekali bahwa isu tentang threshold 20% itu kan sudah digugat lama dan berkali-kali itu digugat ke Mahkamah Konstitusi, tapi kemarin itu tiba-tiba muncul bahwa itu disahkan, artinya MK berkali-kali membatalkan, tapi kali ini mengesahkan jadi artinya juga di dalam Mahkamah Konstitusi juga konflik yang luar biasa, sepertinya mereka ingin memperbaiki kesalahannya melalui keputusan MK 90 dan kita tahu sebelum ada keputusan kemarin MK nomor 60 dan 70 itu sudah ada keputusan PTUN yang mengabulkan permohonan dari Anwar Usman untuk kembali Ketua Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.

“Ini menurut saya juga seperti melecehkan PTUN dan Anwar Usman juga seperti melecehkan kebijakan atau keputusan yang sudah dibuat bersama oleh MK sehingga kemudian ini juga membuat barangkali Mahkamah Konstitusi para hakimnya, hakim konstitusi marah gitu ya, bahwa kemudian kok mereka dilecehkan seperti ini sehingga barang kali di luar, di luar perkiraan mereka memutuskan untuk mengesahkan atau membenarkan bahwa 20% itu sekaligus mengamputasi demokrasi dan ini dikabulkan oleh MK termasuk pendaftaran usia 30 bukan kemudian 30 tahun pada saat pelantikan” sambungnya.

Dianulirnya putusan MK no 70 yang menyatakan batas usia minimal dihitung sejak pelantik calon kepala daerah dan bukan dihitung ketika ditetapkan sebagai pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengarah kepada anak bungsu dari Presiden Jokowi dan Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep.

“Orang kan tahu bahwa itu usianya terkait dengan Kaesang, jadi ini adalah perlawanan di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi yang kemudian dilawan oleh teman-teman di DPR dan kita tahu lagi akhirnya kembali lagi,” tuturnya.

Ginting mengatakan bahwa lagu-lagu rakyat yang diciptakan oleh Iwan Fals pun kembali muncul saat aksi demo kemarin dan dirinya menyebut bahwa lagu-lagu tersebut memberikan sebuah pesan dan pembelajaran yang penting bahwa tidak boleh pada nantinya Presiden yang berkuasa tidak tersentuh secara hukum menjadi sewenang-wenangnya kepada rakyat.

“lagu-lagu wakil rakyat Iwan Fals muncul kembali, lagu bongkar, kata sabar, sabar, sabar dan tunggu akhirnya kita harus menghadapi setan yang berdiri mengangkang itu muncul lagi. Lagu-lagu perlawanan itu mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa 98, artinya ini pesan kepada siapapun yang berkuasa, kita punya pelajaran penting saat Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto tidak bisa diadili secara pidana, hanya Pak Harto perdata ya begitu, tapi kemudian sudah wafat jadi tidak selesai, maka ini sebuah pelajaran penting seperti di Korea Selatan,” ucapnya.

“Tidak boleh kemudian Presiden yang berkuasa, tidak bisa disentuh secara hukum, maka ini menjadi pelajaran supaya tidak ada kesewenang-wenangan, menurut saya begitu,” pungkasnya.*