Golkar Memilih Ketua Masa Lalu Bukan Ketua Masa Depan?

FORUM KEADILAN – Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar sepakat memutuskan dan menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Golkar periode 2024-2029.
“Menetapkan keputusan Musyawarah Nasional ke-11 Partai Golongan Karya tahun 2024 tentang pengesahan calon tunggal ketua umum dewan pimpinan pusat partai golongan karya periode 2024-2029 pertama mengesahkan saudara Bahlil Lahadalia sebagai calon tunggal ketua umum dewan pimpinan pusat partai golongan karya periode 2024-2029,” kata Ketua Munas Golkar Adies Kadir dalam Munas XI Musyawarah Nasional hari kedua di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Rabu, 21/8/2024.
Aktivis dan Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai bahwa masa bakti Bahlil belum tentu mencapai 5 tahun melihat dirinya dipilih secara aklamasi setelah mundurnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar sejak Sabtu, 10/8/2024.
“Saya sih melihat belum tentu lho, Bahlil ini bisa berlayar, berapa tahun? 5 tahun kan? Masa Baktinya 5 tahun kan? Kayaknya belum tentu juga,” ujar Ray Rangkuti dalam Podcast Hanya di Sini (PHD) 4K Forum Keadilan, pada Sabtu, 24/8/2024.
“Karena berdasar sebetulnya kan ini, berdasarkan karena dipilih nih, berdasarkan karena banyak peristiwa yang kata dialami oleh aklamasi,” lanjutnya.
Pemilihan secara lisan tanpa adanya pemungutan suara ini menurutnya adalah membuat pengurus menerima Bahlil menjadi Ketum dan penerimaan ini belum tentu diterima secara ikhlas dengan anggota-anggota lainnya yang berada di Golkar.
“Aklamasi itu tercapai kalau kita dengar liputan kompas itu kan? Karena banyak peristiwa di daerahnya juga yang mengakibatkan mereka pengurus-pengurus daerah ini menerima lah, apa yang terjadi skenario di atas ini kan,”
Dalam aklamasi pemilihan Bahlil ini terdapat dua pemicu, pertama adalah karena menurutnya Bahlil adalah Ketum masa lalu dan bukanlah masa depan. Kedua adalah karena Bahlil sendiri adalah orang baru yang tak memiliki basis yang cukup kuat.
“Tapi menurut saya itu bukan penerimaan yang ikhlas kan? Sehingga dengan begitu setidaknya, mungkin ada dua pemicu nih. Karena mereka memilih Ketua Umum yang masa lalu bukan masa depan kan,” katanya.
Sebagai informasi, karier Bahlil dalam Partai Golkar hingga menjadi kader dalam Partai tersebut ternyata dibuktikannya dengan surat keterangan (SK) saat dirinya menjadi pengurus DPD Golkar Papua pada 2009-2014.
Namun, pada 2009 Bahlil sempat memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan memutuskan untuk berkarir di berbagai sektor seperti perkebunan, properti, logistik, pertambangan hingga konstruksi.
Hal ini pun juga telah dikonfirmasi oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Dewan Pimpinan Partai (DPP) Partai Golkar Syamsul Hidayat soal Bahlil yang bukan lagi sebagai kader dan tak tercatat lagi.
10 tahun kebelakang, nama Bahlil tidak tercatat dalam kepengurusan DPP Partai Golkar.
Periode 2014-2019, ketika Ketum Golkar pada saat itu Aburizal Bakrie, diketahui hanya ada 199 orang yang menjadi pengurus Partai Golkar dengan 9 waketum dan 1 orang ketua harian.
Dalam susunan kepengurusan DPP Golkar periode tersebut, tidak tercantum nama Bahlil.
Ketika pada 2019-2024, Airlangga menjabat menjadi Ketum Golkar, nama Bahlil tidak dalam susunan kepengurusan DPP Partai Golkar 2019-2024 tersebut.
“Pertama adalah masa lalu ya, sebenarnya pertama adalah soal pembagian, siapa yang akan masuk kabinet. Betul kalau enggak tepat nih, ini sebagai alat ricu pertama, ribut sendiri,” tambahnya.
Ray mengibaratkan Bahlil adalah sosok yang disuntikkan ke dalam Golkar.
“Kedua adalah nanti, Munas di daerah, mus macam-masa itu juga bisa jadi faktor bagi kenapa gitu. Mungkin dia akan dorong masuk orangnya dia. Kenapa bisa begitu karena, Bahlil ini enggak punya basis di Golkarnya kan dan orang baru. Ibaratnya ini orang yang disuntik gitu. Disuntikan masuk ke dalam Golkar, yang orang Golkarnya mungkin mayoritasnya enggak kenal,”
Ia menekankan bahwa Bahlil belum tentu dapat melakukan konsolidasi secara politik ke dalam basis-basis yang berada di Golkar melihat bahwa record dia di Golkar selama 10 tahun tidak tercatat.
“Nah cuma orang kebayang itu tadi kan peristiwa-peristiwa yang seperti diungkap oleh Tempo itu kan, mah sehingga dengan begitu, Bahlil belum tentu bisa melakukan konsolidasi secara politik gitu ke basis-basis di Golkar kan?,” pungkasnya.*