Pencalonan Anies oleh PDIP, Kegenitan Politik, dan Relevansi GRC

Jerry Marmen, PhD
Ketua Lembaga Sertifikasi GRC,
Pemerhati Sosial Politik, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta, Senior Researcher Megawati Institute.
Perkembangan terbaru dalam dunia politik Indonesia tak pernah kekurangan kejutan. Spekulasi bahwa PDI Perjuangan (PDIP) mungkin akan mencalonkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024 menimbulkan lebih dari sekadar desas-desus di kalangan pengamat politik.
Langkah ini bisa menjadi pertanyaan bagi banyak orang dan tentunya pertaruhan besar bagi PDIP, sebuah partai dengan sejarah panjang nasionalisme, untuk terkesan beralih dari ideologinya yang kuat dan mempertimbangkan calon yang berasal dari kubu politik yang orientasi warna politiknyanya yang cenderung sangat berbeda.
Ini tentu saja mengundang pertanyaan: apakah ini tanda bahwa politik di Indonesia, khususnya di Jakarta, semakin genit dan mengedepankan pragmatisme ketimbang prinsip?
Langkah yang Mengejutkan atau Sekadar Kalkulasi?
PDIP selama ini dikenal dengan identitas nasionalis-populis yang kokoh. Mereka yang mengikuti perkembangan politik Indonesia paham bahwa partai ini tidak mudah melepaskan diri dari akar ideologisnya.
Namun, dalam politik, tidak ada yang mustahil. Pertimbangan PDIP untuk mencalonkan Anies, seorang politisi dengan latar belakang Islamis-Intelektualis dan terkesan cenderung moderat, bisa dilihat sebagai bukti nyata bahwa partai tersebut siap mengesampingkan loyalitas ideologis demi kalkulasi kemenangan elektoral.
Perbedaan ideologis dan warna komunikasi politik antara Anies dan PDIP menciptakan dilema afinitas yang menarik. Di satu sisi, PDIP dengan komunikasinya yang nasionalis dan populis, serta Anies dengan pendekatan intelektual yang Islami, memiliki perbedaan mendasar dalam cara mereka mendekati isu-isu publik.
Apakah kedua pendekatan ini bisa berpadu dengan harmonis, ataukah ini akan menjadi permainan genit yang justru memperlihatkan ketegangan dalam tubuh politik PDIP?
Tesis Daniel Bell: The End of Ideology?
Di tengah spekulasi ini, menarik untuk mengingat kembali tesis Daniel Bell dalam buku lamanya “The End of Ideology” yang diterbitkan pada tahun 1960 dan 1962. Bell berargumen bahwa di era modern, ideologi besar yang pernah mendominasi politik abad ke-19 dan ke-20 mulai kehilangan relevansinya.
Menurut Bell, pragmatisme dan efisiensi kini menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan politik, menggantikan doktrin ideologis yang kaku.
Jika PDIP benar-benar mencalonkan Anies, ini dapat dianggap sebagai bukti kuat dari validitas tesis Bell. PDIP akan menunjukkan bahwa mereka siap untuk melampaui batasan ideologis mereka dan memilih pragmatisme sebagai strategi politik utama.
Ini adalah bukti bahwa dalam politik modern, hasil yang dapat dicapai menjadi prioritas, bahkan jika itu benar berarti harus bekerja sama dengan pihak yang sebelumnya dipersepsikan sebagai lawan ideologis atau beda perahu.
Dilema Afinitas: Politik sebagai Seni Kemungkinan
Namun, dilema afinitas antara PDIP dan Anies tidak bisa diabaikan begitu saja. Otto von Bismarck, seorang negarawan Jerman pada era 1860-an hingga 1870-an, pernah mengatakan bahwa “Politics is the art of the possible, the attainable, the art of the next best.”
Dalam konteks ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah afinitas antara orientasi ideologi nasionalis-populis PDIP dan orientasi Islamis-intelektualis Anies dapat diatasi melalui pendekatan pragmatis yang dipandu oleh kalkulasi politik yang cermat.
Bismarck menyadari bahwa dalam politik, sering kali pilihan terbaik adalah pilihan yang bisa dicapai, bukan yang ideal secara ideologis. Jika PDIP dan Anies berhasil menemukan titik temu yang memadai, ini bisa menjadi langkah pragmatis yang cerdas.
Namun, jika ketegangan ideologis terlalu besar, kolaborasi ini bisa berubah menjadi beban politik yang sulit dikendalikan.
GRC dalam Politik: Adakah Relevansinya?
Dalam perbincangan di atas penting juga untuk mempertimbangkan aspek Governance, Risk, dan Compliance (GRC) dalam konteks politik. GRC, yang biasanya diterapkan dalam sektor bisnis dan korporasi, bertujuan untuk memastikan tata kelola yang baik, manajemen risiko yang efektif, dan integritas dan kepatuhan terhadap nilai dan regulasi yang berlaku, baik secara internal dan eksternal.
Tetapi apakah GRC relevan dalam konteks politik? Dan jika ya, bagaimana seharusnya diterapkan?
Dalam dunia politik, tata kelola yang baik (Governance) adalah tentang bagaimana keputusan diambil dan kebijakan dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.
PDIP, dalam mempertimbangkan langkah yang pragmatis seperti mencalonkan Anies, perlu memastikan bahwa keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang partai dan integritas nilai ieologi dan politiknya.
Risiko yang mungkin muncul dari langkah ini termasuk potensi alienasi basis pemilih tradisional PDIP yang mungkin melihat ini sebagai penyimpangan (atau sekurang-kurangnya bukan kebiasaan) terhadap prinsip-prinsip ideologi partai.
Selain itu, ada risiko bahwa ketegangan ideologis antara kubu Anies dan PDIP dapat menghambat efektivitas pemerintahan jika Anies terpilih.
Dalam perspektif ini PDIP harus benar-benar merumuskan Risk Appetite yang berisi perhitungan yang cermat atas risiko mungkin dihadapi dan manfaat yang dapat diperoleh dari keputusan politik mencalonkan Anies; Apalagi kita sama-sama tahu, baru-baru ini beberapa politisi Gerindra telah bertemu dengan Habib Rizieq.
Aspek kepatuhan (Compliance) juga penting, terutama dalam konteks integritas terhadap nilai dan ideologi yang dianut. PDIP perlu memastikan bahwa langkah mencalonkan Anies tetap berada dalam koridor nilai ideologi hukum dan etika politik yang berlaku dengan segala turunannya dalam praktik politik.
Ini termasuk menjaga transparansi dalam proses pencalonan, dan memastikan bahwa kolaborasi politik ini tidak melanggar prinsip-prinsip integritas yang dipegang oleh partai.
Secara keseluruhan, penerapan GRC dalam politik mungkin terdengar asing, tetapi sangat relevan dalam memastikan bahwa setiap keputusan politik diambil dengan mempertimbangkan tata kelola yang baik, manajemen risiko yang efektif, dan kepatuhan terhadap hukum serta prinsip-prinsip etika.
Kesimpulan: Apakah Jakarta Siap untuk Politik yang Genit?
Jika PDIP benar-benar mencalonkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, kita mungkin menyaksikan sebuah pergeseran besar dalam lanskap politik Indonesia. Politik yang dulu didominasi oleh ideologi kini mungkin semakin beralih ke arah pragmatisme yang fleksibel.
Apakah ini sesuatu yang harus kita sambut dengan optimisme atau kewaspadaan, semuanya tergantung pada perspektif kita.
Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kegenitan politik bisa menjadi bagian dari adaptability dan agility organisasi partai politik terhadap dinamika eksternal dan internal yang terjadi, kegenitan tersebut tidak boleh menjadi kontraproduktif terhadap kinerja, kepatuhan terhadap integritas, dan aspek GRC lainnya yang substansial dalam politik.
Yang pasti, jika langkah ini benar-benar diambil, Daniel Bell mungkin akan tersenyum puas dari kejauhan, menyadari bahwa prediksinya tentang “The end of Ideology” akhirnya terbukti di tengah hiruk-pikuk politik Jakarta. Dan di sisi lain, Bismarck juga mungkin akan mengangguk puas, melihat dari alam lain bahwa politik memang benar-benar adalah seni dari kemungkinan; pilihan yang genit, menggoda, dan penuh dengan kejutan.
Atau mungkin fenomenanya akhir-akhir ini banyak dari antara kita yang sudah “agak lain”.*