Minggu, 02 November 2025
Menu

Aktivis: JOKOWI Bertanggung Jawab Atas Rusaknya DEMOKRASI

Redaksi
Koordinator Demo Begal Konstitusi Alif Iman Nurlambang dalam Podcast Dialektika Madilog Forum di Forum Keadilan, pada Kamis, 22/8/2024 | YouTube Forum Keadilan
Koordinator Demo Begal Konstitusi Alif Iman Nurlambang dalam Podcast Dialektika Madilog Forum di Forum Keadilan, pada Kamis, 22/8/2024 | YouTube Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Presiden Joko Widodo (Jokowi) diduga menjadi sosok bertanggung jawab atas kekacauan demokrasi yang terjadi di Indonesia belakangan ini.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan aturan soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, putusan tersebut dikang-kangi oleh DPR RI.

Adapun dugaan yang muncul terkait alasan DPR menabaikan putusan MK, yaitu agar putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa maju mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Tingkah laku pemerintah yang seperti ini, akhirnya memantik kemarahan rakyat. Kemudian, rakyat tumpah ruah di depan gedung DPR/MPR RI pada Kamis, 22/8/2024. Mereka menyerukan kemarahan kepada DPR yang berusaha melawan konstitusi.

Koordinator Demo Begal Konstitusi Alif Iman Nurlambang mengatakan, gerakan rakyat harus tetap berjalan untuk menuntut hukuman bagi Jokowi. Bahkan setelah Jokowi lengser dari jabatannya sebagai presiden pada 20 Oktober mendatang.

Menurutnya, ini adalah simbol dari upaya rakyat Indonesia memperbaiki sistem.

“19 Oktober pun nanti berarti kan sehari lagi presiden baru dilantik, tetapi gerakan harus tetap menuntut agar Jokowi-nya harus dihukum. Ini simbol dari upaya kita memperbaiki sistem sebetulnya ya,” ujar Alif dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan, Kamis, 22/8.

Jokowi, kata Alif, merupakan seorang pribadi yang menjadi simbol perusak sistem demokrasi yang dengan sengaja mengacak-acak dan membegal agenda-agenda reformasi begitu saja.

Ia pun mengatakan, tidak ada agenda reformasi yang berjalan ketika Jokowi menjadi presiden Indonesia selama hampir 10 tahun.

Bahkan, Alif menyebut bahwa Jokowi sendiri yang melanggengkan kemunculan dinasti di lebih dari 140 kabupaten/kota.

“Gak ada agenda reformasi yang jalan di dia. Otonomi daerah kan juga bukan dia yang bikin dan dia malah juga melanggengkan kemunculan dinasti di lebih dari 140 kabupaten/kota kan. 140 lebih. Demokrasi hancur,” tandasnya.

Bagi Alif, hal-hal inilah yang membuat rakyat harus melihat bahwa siapa pun yang merusak demokrasi harus bisa diadili dan dihukum. Dengan begitu, peristiwa seperti ini akan bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia ke depannya.

Salah satu aktivis 98 ini kemudian mencontohkan seperti apa yang terjadi pada masa perjuangan reformasi dulu. Alif mengatakan, pada saat itu rakyat dan juga pemerintah sudah menyadari akan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Presiden ke-2 RI Soeharto.

Peristiwa 98 pun akhirnya pecah bersama dengan momentum krisis politik dan ekonomi yang juga terjadi pada saat itu.

”Ada pertalian segitiga pada waktu itu. Yang pertama adalah gerakan massa yang siap, yang kedua adalah elit yang sadar bahwa Pak Harto sudah keblinger, Suharto sudah salah pada waktu itu, yang ketiga adalah momentum krisis baik di waktu itu multi dimensi, baik di politik maupun di ekonomi,” jelasnya.

Menurut Alif, saat ini bangsa Indonesia tidak perlu menunggu kehancuran politik maupun ekonomi terlebih dahulu untuk dapat melakukan gerakan massa. Kehancuran-kehancuran yang belum muncul tersebut janganlah menjadi ganjalan untuk melakukan gerakan massa.

“Nah kita nggak perlu menunggu hancur-hancuran betul untuk itu. Misalnya waktu itu kan betul-betul terbelah dan sebagainya, bahwa oh ini ada yang setuju pada reformasi TNI sehingga kemudian juga mendukung pada gerakan massa. Itu memang syarat-syarat objektif yang sebetulnya memadai, tetapi syarat itu jangan menjadi ganjalan,” tegas Alif.

Gerakan massa, menurut Alif, seharusnya bisa terus ada. Sebab menurutnya, massa aksilah yang akan melahirkan pemimpin, memaksa mereka yang keliru untuk menjadi benar, dan yang salah untuk dihukum.

Bagi Alif, massa aksi haruslah menjadi prosedur proses dan juga cara melakukan perubahan, tetapi bukan gerakan yang brutal.*