FORUM KEADILAN – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kritik keras Badan Legislasi (Baleg DPR) yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pemilihan kepala daerah.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengaku sulit memahami langkah DPR tersebut. Ia juga mengaku sulit memahami keputusan DPR RI yang bertentangan dengan keputusan MK. Mu’ti mengatakan bahwa seharusnya, DPR dapat menjadi teladan dan mematuhi undang-undang.
“Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya menjadi teladan dan mematuhi undang-undang,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Kamis, 22/8/2024.
Mu’ti juga menegaskan bahwa DPR yang seharusnya menjadi representasi kehendak rakyat, harus betul-betul menghayati dasar-dasar bernegara yang mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kepentingan negara serta rakyat di atas kepentingan politik kekuasaan semata.
“DPR sebagai pilar legislatif hendaknya menghormati setinggi-tingginya lembaga yudikatif, termasuk Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
DPR, kata Mu’ti, tidak semestinya berseberangan, berbeda dan menyalahi keputusan MK pada masalah persyaratan calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada 2024.
Langkah DPR tersebut, menurut Mu’ti, selain dapat menimbulkan masalah disharmoni dalam hubungan sistem ketatanegaraan, juga dapat menjadi benih permasalahan serius dalam Pilkada 2024.
“Selain itu akan menimbulkan reaksi publik yang dapat mengakibatkan suasana tidak kondusif dalam kehidupan kebangsaan,” lanjut Mu’ti.
DPR dan juga pemerintah seharusnya sensitif dan tidak menganggap sederhana terhadap arus massa, akademisi, dan mahasiswa yang turun ke jalan menyampaikan aspirasi penegak hukum serta perundang-undangan.
“Perlu sikap arif dan bijaksana agar arus massa tidak menimbulkan masalah kebangsaan dan kenegaraan yang semakin meluas,” tegasnya.
Sebelumnya diketahui bahwa MK telah memutus dua perkara terkait Pilkada 2024, yaitu perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024.
Pada putusan Nomor 60, MK memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah walaupun tidak mempunyai kursi di DPRD.
Sedangkan pada putusan Nomor 70, MK memutuskan bahwa syarat usia cagub harus berumur 30 tahun pada saat penetapan calon.
Kemudian untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut, Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada DPR RI malah menyepakati perubahan syarat ambang batas pencalonan pilkada lewat jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD.
Sementara itu, Baleg DPR RI juga menyepakati hal yang bertentangan dengan putusan MK pada putusan Nomor 70. Baleg DPR RI malah menyepakati batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur 30 tahun saat pelantikan.*