Polemik RUU Pilkada Ceriminan Politik Tanpa Berpikir

FORUM KEADILAN – Situasi politik Indonesia begitu karut marut usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengetok palu soal gugatan Undang-Undang (UU) Pilkada, Selasa, 20/8/2024.
Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah walaupun tidak mempunyai kursi di DPRD.
MK juga memutuskan syarat usia calon gubernur harus berumur 30 tahun pada saat penetapan calon.
Kemudian, Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) pada Rabu, 21/8 untuk merevisi RUU Pilkada.
Dalam rapat itu, Baleg DPR merevisi putusan MK yang sudah diketok.
Menanggapi hal ini, host Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan Budhius M Piliang bertanya kepada Pengamat Politik Zulfan Lindan soal adanya distorsi informasi yang bias di media massa maupun media sosial.
Menjawab pertanyaan itu, Zulfan Lindan berpadangan bahwa polemik RUU Pilkada bukanlah sebuah dialektika. Sebab menurut dia, para aktor di balik ini semua tidak berpikir.
“Pertama ini memang tidak tepat kalau kita katakan dengan bahasa dialektik ya. Karena mereka gak mikir,” ujar Zulfan dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan, Rabu, 21/8.
Zulfan menyebut bahwa pergerakan-pergerakan politik yang ada saat ini bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran yang serius, tajam, dan komprehensif.
Pergerakan-pergerakan politik saat ini menurutnya lahir dari sebuah pragmatisme.
“Jadi, dianggap pihak yang ingin membangun KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus misalnya, ini pragmatis. Lalu, MK juga pada masa memutuskan Gibran juga pragmatis. Kemudian juga memutuskan sekarang soal Pilkada juga pragmatis. Jadi semua ini adalah pragmatisme,” kata Zulfan.
Ia pun menjelaskan, dalam teori ekonomi, pragmatisme menyangkut soal keuntungan apa yang didapatkan ketika melakukan sesuatu. Namun dalam hal politik, kata dia, pragmatisme yang dilakukan bisa saja ada alasan transaksinya.
“Tetapi dalam politik saya gak tahu apakah ini ada transaksinya juga saya gak tahu. Ini urusan penegak hukumlah kalau mencari-cari latar belakang ini ada alasan transaksi atau tidak,” jelasnya.
Ia juga membenarkan soal ungkapan Budhius tentang adanya kebingungan pada masyarakat awam terkait hal yang terjadi saat ini.
Menurutnya Zulfan, kebingungan ini muncul karena mereka tidak paham mengapa tiba-tiba muncul keputusan-keputusan ini dan juga reaksi yang dilakukan DPR setelahnya.
“Betul tadi masyarakat awam jadi bingung karena mereka tidak paham kenapa ini tiba-tiba muncul keputusan ini, dan kemudian di DPR juga reaksinya seperti apa. Lalu di KPU juga ada reaksi,” tuturnya.
Kemudian, ia juga mengungkapkan pandangannya soal mengapa hal itu bisa terjadi. Kata dia, hal itu disebabkan oleh tidak tertatanya politik di Indonesia secara benar.
Masing-masing politisi berjalan sendiri tanpa adanya komunikasi yang intens satu sama lain untuk menciptakan rasa saling memahami dan menghargai. Tidak adanya komunikasi seperti itu lah yang kemudian melahirkan superiority di setiap orang.
“Yang ada kan sekarang, akibat dari tidak adanya komunikasi itu maka yang lahir kan superiority. Masing-masing orang merasa super. Pihak KIM merasa super, terus di sini PDIP merasa super, yang di luar KIM. Lalu MK juga merasa super,” imbuhnya.
Ia menganggap, lembaga-lembaga terkait tidak memikirkan efek yang akan terjadi ke depannya.
Seharusnya, ada komunikasi yang terjalin secara intens antara lembaga-lembaga terkait tersebut, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, MK, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan juga partai-partai politik.
“Nah seharusnya kan memang ada komunikasi secara intens antara lembaga-lembaga yang terkait. KPU, DPR, MK, DKPP, partai-partai politik ini duduklah, ini mau kita kemanakan bangsa kita ini. Kok kita jalan-jalan sendiri ini? Ngeri saya melihat ini. Ini kepala-kepala orang ini apa diisi kepalanya gitu loh. Super pragmatis sama sekali tidak berpikir untuk kepentingan bangsa ke depan,” ungkapnya.
Zulfan juga sangat menyayangkan para pihak yang mengkritik juga tidak ada yang memberikan solusi. Di sinilah, kata dia, dibutuhkan kekuatan yang terorganisir untuk mengkonsilidasikan kekuatan-kekuatan politik.
“Kemudian ya tentu dengan rendah hatilah, jangan merasa paling kuat jangan merasa paling hebat, paling berkuasa, gak perlu. Duduk aja bersama-sama. Tujuan kita kan kalau betul-betul ingin membangun bangsa dan negara ini pasti kita bisa ketemu dong,” tambahnya.
Ia berharap agar para elit-elit bangsa ini bisa bertemu, bukan saling berkelahi dan seenaknya sendiri dalam mengambil keputusan dengan tidak memikirkan dampaknya.*