Ini Pertimbangan MK Ubah Syarat Pencalonan Pilkada 2024

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) mempermudah syarat pendaftaran pasangan calon untuk partai politik dalam Pilkada serentak Tahun 2024 dengan menyamakan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah dari jalur politik dengan jalur independen.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur soal ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah sebanyak 20 persen kursi DPRD dan 25 persen suara sah pemilu tidak berlaku sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah jika telah memperoleh suara sah sepanjang 6,5 persen dan 10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa aturan mengenai ambang batas pengusungan kepala daerah yang diajukan partai politik (parpol) dan gabungan partai politik lebih besar dibandingkan dengan melalui jalur perseorangan.
“Dalam konteks demikian, dengan telah dibukanya peluang bagi perseorangan untuk mencalonkan diri dengan syarat-syarat tertentu, maka pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU 10/2016,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 20/8/2024.
Melalui putusan ini, untuk mengusulkan calon gubernur dan wakil gubernur di provinsi dengan DPT 2 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol harus memperoleh suara sah 10 persen. Sedangkan untuk DPT lebih dari 2 sampai 6 juta jiwa harus memiliki suara sah 8,5 persen.
Sementara provinsi dengan DPT 6 sampai 12 juta jiwa harus memiliki suara sah 7,5 persen. Apabila DPT lebih dari 12 juta jiwa, maka parpol harus mendapat suara sah sebanyak 6,5 persen.
Oleh karena itu, kata Enny, syarat persentase parpol atau gabungan parpol peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan.
Mahkamah menyatakan bahwa mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.
Untuk itu, MK menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat dan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada.
Selain itu, semua parpol baik yang memiliki kursi DPRD ataupun tidak memiliki kursi dapat mengusung paslon tertentu selama memenuhi ambang batas yang telah ditentukan karena MK juga membatalkan Pasal 40 ayat (3).
Pasal ini mengatur hanya partai politik yang memiliki kursi di DPRD yang berhak mengusulkan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan dinyatakan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Meski MK membatalkan Pasal tersebut, Mahkamah beralasan bahwa pembentuk Undang-Undang ternyata tetap memberlakukan frasa pembatasan tersebut, bahkan sejak berlaku UU 1/2015 hingga UU 10/2016 dengan menuangkannya dalam batang tubuh UU, in casu dalam Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016.
Lebih lanjut, Enny mengatakan bahwa hal tersebut membatasi pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari parpol peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu meskipun tidak memiliki kursi di DPRD, sehingga mengurangi nilai pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
“Sebab, suara sah hasil pemilu menjadi hilang karena tidak dapat digunakan oleh partai politik untuk menyalurkan aspirasinya memperjuangkan hak-haknya melalui bakal calon kepala daerah yang akan diusungnya,” tegasnya.
Padahal, Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis tersebut salah satunya dengan membuka peluang kepada semua parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon, sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal.
“Jika dibiarkan, berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” tuturnya.
Sebagai informasi, MK tidak bersuara bulat dalam menjatuhkan putusan ini. Terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dan juga concurring opinion atau alasan berbeda ari Daniel Yusmic P. Foekh.*
Laporan Syahrul Baihaqi