FORUM KEADILAN – Anies Baswedan menjadi calon presiden yang diusung oleh Partai NasDem saat pemilihan presiden (pilpres) 2024 lalu.
Namun usai dinobatkannya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, NasDem mengubah haluan.
Kini, Ketua Umum (Ketum) NasDem Surya Paloh kian lekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal tersebut terlihat ketika keduanya menaiki mobil boogie dari Istana Garuda menuju Plaza Ceremony Ibu Kota Nusantara (IKN), usai Upacara 17 Agustus.
Tak hanya itu, sebelumnya Surya Paloh juga telah mendeklarasikan dukungannya terhadap Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan meninggalkan Anies Baswedan di Pilgub Jakarta.
Dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan, Politisi Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi mengungkapkan alasan mengapa Surya Paloh memilih Anies Baswedan pada saat itu.
Taufiq menjelaskan bahwa Surya Paloh memandang Anies Baswedan sama seperti anak bangsa lain.
Surya Paloh memandang, Anies memiliki komitmen berbangsa dan bernegara yang tidak pernah bergeser dari cita-cita Indonesia seperti tokoh-tokoh lainnya. Sementara, pembeda Anies dengan tokoh-tokoh lainnya adalah gaya yang dimilikinya.
“Anies sama dengan Ganjar sama dengan pak Prabowo dan sebagainya. Mereka ada komitmen kebangsaan bersama-sama. Mereka tidak pernah bergeser dari cita cita republik. Yang berbeda kan hanya gaya saja,” kata Politisi Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan, Senin, 19/8/2024.
Perbedaan selanjutnya, kata Taufiq, adalah bagaimana cara memframing diri mereka masing-masing.
Kemudian, Budhius M Piliang sebagai host Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan bertanya tentang framing Anies Baswedan sebagai antitesis Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Nah karena itu kenapa pilihannya tetap waktu itu mendukung Anies sebagai capres? Bukankah tentunya sudah sesuai dengan perhitungan bang Surya untuk kepentingan partai?” tanya Budhius.
Taufiq menjelaskan bahwa asumsi soal Anies adalah antitesis Jokowi tidaklah benar, bahkan itu diungkapkan oleh Surya Paloh sendiri.
Menurut Taufiq, antitesis tidak dapat diartikan secara harafiah jika itu masuk pada konteks sosiologis masyarakat Indonesia.
“Kalau antitesis itu menurut saya mungkin di dalam konteks madilog boleh. Karena tesis itu dialektika, artinya adalah marxis yang hal tersebut bukan idiom dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia,” jelas Taufiq
Taufiq menegaskan bahwa kata antitesis tersebut baru bisa digunakan pada masa revolusi dulu, bukan pada masa sekarang.
“Jadi kalau dialektisme tersebut kita gunakan di Indonesia mungkin di masa revolusi dulu bisa tapi sekarang kan tidak,” tuturnya.*