Jumat, 18 Juli 2025
Menu

Koalisi Sipil Desak DPR Segera Sahkan RUU PPRT Jadi Undang-Undang

Redaksi
Dalam rangka memperingati 79 tahun kemerdekaan Indonesia, Koalisi Sipil untuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menggelar aksi bertajuk "79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT. PRT Berhak Merdeka” di depan gedung DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 15/8/2024 | Muhammad Reza/Forum Keadilan
Dalam rangka memperingati 79 tahun kemerdekaan Indonesia, Koalisi Sipil untuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menggelar aksi bertajuk "79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT. PRT Berhak Merdeka” di depan gedung DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 15/8/2024 | Muhammad Reza/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Dalam rangka memperingati 79 tahun kemerdekaan Indonesia, Koalisi Sipil untuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menggelar aksi bertajuk “79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT. PRT Berhak Merdeka” di depan gedung DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 15/8/2024.

Koalisi Sipil menuntut Ketua DPR RI Puan Maharani untuk segara mengeksekusi kebijakan RUU PPRT karena hal tersebut dinilai sangat penting dan berarti bagi para pekerja perempuan, khususnya dalam memberikan payung hukum.

“Mbak Puan, jika memang merupakan perwakilan dari suara perempuan, seharusnya memberikan kejelasan dan kebijakan tentang RUU PPRT ini. Karena RUU PPRT merupakan payung hukum bagi hak PRT, yang 80 persen nya adalah perempuan, pencari nafkah utama. Kalau betul Mbak Puan mendukung perjuangan perempuan, sudah semestinya tidak mengabaikan RUU PPRT yang sudah 20 tahun diperjuangkan. Apalagi sampai disandera, dibuat susah dan disingkirkan,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Nasional (Jala) Pekerja Rumah Tangga (PRT) Lita Anggraini di depan Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis.

Lita menilai, negara dengan segala instrumennya telah melakukan diskriminasi kepada PRT dengan cara-cara yang terkesan legal dan tersistematis.

“Ragam kekerasan itu dibingkai dalam kultur dan sistem ekonomi politik yang menempatkan PRT bukan sebagai pekerja dan narasi besar bahwa kerja perawatan bukan lah kerja meski PRT bekerja hampir 24 jam. Bingkai diskriminatif dan eksploitatif itu dilakukan oleh negara melalui aparatusnya, yang mengakibatkan tumpulnya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap PRT, berdasarkan data Jala PRT, hanya 15 persen dari pelaku yang dihukum berdasarkan UU PKDRT,” ungkapnya

Lita mengaku kecewa kepada Puan yang dinilai punya otoritas di dalam mengesahkan RUU PPRT. Namun, nyatanya hingga kini belum terealisasi.

“Nyatanya RUU PPRT masih tertahan di tangan sang Ketua DPR RI Puan Maharani. Padahal, kehadiran UU PPRT sebagai payung hukum, harapannya bisa memberi pengakuan dan perlindungan bagi PRT, agar rantai kekerasan terhadap PRT bisa segera diputus karena PRT juga adalah pekerja dan berhak merdeka dari segala bentuk penindasan,” tuturnya.

Lita mengatakan bahwa RUU PPRT telah berada dalam proses pembahasan selama 20 tahun. Meskipun RUU ini telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, namun proses pembahasannya masih terhambat.

Lita menekankan bahwa pengesahan RUU PPRT sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi PRT yang sering mengalami ketidakadilan dan kekerasan.

Lita juga menyampaikan data yang menunjukkan bahwa setiap tahunnya, sekitar 600 kasus kekerasan terhadap PRT dilaporkan. Kata dia, banyak PRT yang mengalami pelecehan, kekerasan, dan penyiksaan, bahkan ada kasus yang sampai mengakibatkan bunuh diri.

“Kisah-kisah PRT ini adalah gambaran potret buram, potret hitam dari situasi pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam rumah yang kita tidak ketahui nasibnya karena tidak ada perlindungan, tidak ada pengawasan, tidak ada kontrol, intervensi dari negara dalam bentuk Undang-Undang,” kata Lita.

“Kekerasan pada kami, PRT, sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Bentuknya pun beragam. Kami disiksa, direndahkan. Penganiayaannya pun sangat keji, nggak jarang ada yang sampai meninggal. Itu pun mba Puan masih tega menyandera pengesahan RUU PPRT,” timpal aktivis Sapu Lidi PRT, Yuni Sri.

Selain melakukan demonstrasi, Koalisi Sipil untuk RUU PPRT yang terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, serta Koalisi Perempuan Indonesia Kalyanamitra, juga menggelar aksi mogok makan di depan gedung DPR/MPR dan DPRD di berbagai wilayah.

Aksi ini bertujuan untuk mendesak pemerintah serta DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU.*

Laporan Muhammad Reza